Forgiven

607 71 2
                                    


Langit senja ternyata mengantarkan kejutan bagi Jimin dan Lusi. Dua orang yang memiliki kenangan buruk di masa lalu, memutuskan pergi dan kini dipertemukan kembali. Ditemani dengan kepulan teh yang hangat, tak cukup untuk menghancurkan bagaimana senyap dan dinginnya ruangan itu. Bukan karena tidak ada orang atau penerangan. Ada Jimin dan Lusi, lampu yang terang benderang, bahkan ada banyak bunga di sana. Siapapun yang masuk ke bangunan itu, pasti akan senang. Tapi jangankan tersenyum, kedua orang itu tak berani mengangkat wajahnya.

Jimin menghela nafas sembari menggosokkan tangannya yang tiba-tiba menjadi dingin. Sungguh ia takut menghadapi seseorang yang duduk tertunduk di depannya. Di depannya inilah seseorang yang pernah Jimin sakiti. Sungguh dosa Jimin padanya tidak termaafkan. Akan tetapi, bolehkan ia mencoba meminta kesempatan lain? Mungkin karena ini hukumannya selalu datang silh berganti. Karena Lusi belum memaafkannya.

Sungguh Jimin ingin meminta maaf, tapi lisannya tak berani untuk berucap. Kegugupannya tak bisa ia tutupi, terlebih sorot mata Lusi yang sayu dan penuh luka. Dirinya tahu jika ialah yang membuat Lusi menyimpan nanar di dalam batinnya.

"Charein bilang, kau sedang mencari bunga? Kau sudah menemukannya?" topik pembicaraan yang bagus. Apakah Jimin sedang bertingkah seperti orang yang tidak memiliki dosa? Begitu mudahnya ia membicarakan topik lain seolah tanpa rasa bersalah.

Lusi hanya mengangguk. Lidahnya kelu hanya untuk berkata 'iya'. Dirinya tak menyangka jika akan bertemu Jimin di sini.

Jimin menghembuskan nafasnya. Meskipun akhirnya Lusi akan mencacinya dan membencinya, itu tidak masalah. Ia hanya butuh mengucapkan matra ajaib itu kan?

"Lusi..." Jimin meraih atensi Lusi. Kini gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang balik Jimin. "Maafkan aku"

Deg

Netra Lusi memanas.

"Aku tahu dosaku tidak bisa begitu saja bisa diampuni olehmu. Tapi tetap, aku ingin meminta maaf padamu" jujur Jimin penuh sesal. "Aku menyesal, Lusi. Sungguh" lanjutnya.

Lusi mencelos. Penuturan Jimin bukannya membuat dirinya lega, tapi malah sebaliknya. Semua sakit yang coba ia hilangkan, kini kembali lagi padanya sekaligus. Kenangan bagaimana kejamnya Jimin pada dirinya, masih bisa terputar jelas dalam memorinya.

Hanya saja, Lusi tak bisa lagi mengutarakan amarahnya. Ia tak bisa melampiaskannya pada Jimin. Sudah 4 tahun berlalu, ia tak ingin ditarik kembali ke masa kelamnya. Lagipula, saat dia memutuskan untuk pergi ke Ilsan setelah diusir dari rumahnya, ia sudah memaafkan Jimin, ia sudah memaafkan keluarganya, dan ia sudah memaafkan dirinya sendiri.

"Minum tehnya Jim, nanti dingin" tak menyahuti, Lusi mengambil cangkir tehnya. Ia perlu meringankan kerongkongannya yang kering. Bahkan barusan suaranya terdengar sedikit serak dan bergetar.

Jimin menelan salivanya. Ia tahu jika Lusi tak akan pernah bisa memaafkannya. Ia tak akan menuntut Lusi untuk berbaik hati memberikan pengampunan.

Maka Jimin juga menegak tehnya. Kerongkongannya juga ikut kering setelah mengucapkan mantra terbaik yang pernah ia katakan. Ternyata memang benar-benar sulit dan berat untuk mengucapkan kata maaf, apalagi untuk memaafkan.

"Aku benar-benar minta maaf, Lus" ucapnya lagi, lirih.

Hingga peluh mata berhasil menerobos kembali ke pipi Lusi. Setelah sekian lama, dirinya menangis kembali. Menangis karena orang yang sama seperti 4 tahun lalu. Seseorang yang telah menorehkan pengkhianatan begitu dalam pada Lusi. Tapi memang Lusi terlahir dengan hati malaikat. Ia pergi untuk memaafkan laki-laki ini.

"Aku sudah memaafkanmu, jauh sebelum kau memintanya" sahut Lusi.

Jimin yang tertunduk dalam, kini mendongak mendengar penuturan dari Lusi. Jika yang menghadapi Lusi adalah Jimin 4 tahun lalu, maka bisa dipastikan bagaimana sorak gembiranya hati Jimin yang brengsek. Ia bisa dengan mudah membodohi wanita dengan paras cantik ini. Namun sekarang berbeda. Jimin sudah berubah. Perkataan yang diutarakan Lusi kini membuat hatinya melebur.

Women Addict [M] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang