Struggle

686 71 10
                                    

Terik matahari tak lelah untuk menggoda para pekerja bangunan. Beberapa kali mereka menyeka keringat yang mengucur deras dari kepalanya. Terlebih, pekerjaan berat mereka menjadikan energi mereka untuk memproduksi panas dalam tubuh. Sangat panas. Mandor bangunan akhirnya meminta semua pekerja untuk istirahat. Tak perlu perintah ulang, semuanya bergagas untuk mencari teduhan dan rehat.

Proyek besar untuk membuat sebuah gedung menjadikan sumber nafkah bagi mereka yang kalang kabut sebagai pekerja lepas. Keberuntungan memang sedang membersamai mereka. Pembangunan ini benar-benar membantu perekonomian mereka. Setidaknya, selama beberapa bulan kedepan, mereka tak perlu khawatir untuk mencari pekerjaan.

"Wah, benar-benar pekerjaan yang melelahkan" ucap laki-laki paruh baya sembari melepas helm keselamatan khas pekerja bangunan. "Bagaimana? Kau masih bisa bertahan Jim?" lanjutnya.

Yang diajak bicara tersenyum kemudian menyeka peluh yang nyaris mengenai kelopak matanya. Dia hanya mengangguk. Tak ada tenanga untuk menjawab. Yah, harus dia akui jika pekerjaan yang sedang ia lakukan memang berat. Sudah 4 tahun sejak ia dibuang oleh keluarganya, dia hidup mandiri, menghidupi diri sendiri dengan segala pekerjaan serabutan.

Jika menilik sebentar di masa lalu, tak terhitung berapa kali ia dipecat dari pekerjaan karena ia memang tak punya keterampilan, bahkan hanya untuk mencuci piring. Jika dulu ia pernah memiliki tempat tinggal yang mewah, ketika dunianya terbalik, hanya dengan berbekal kardus bekas dan koran, ia merasakan bagaimana sensasinya aspal di malam hari. Tak hanya itu, ketika dirinya benar-benar kelaparan, ia terpaksa mengais sisa makanan. Ia juga pernah menurunkan harga dirinya untuk memohon dibungkuskan sisa makanan milik pelanggan salah satu kedai makanan yang ditinggal.

Empat tahun ia sendiri, tak punya uang, tak punya tempat tinggal. Benar-benar tahun terberat yang pernah ia alami. Dia tak pernah membayangkan mendapat nasib seperti ini. Tentu saja ia menyadari jika ini adalah hukuman untuknya.

Ia memandang langit. Menyipitkan matanya yang sudah sipit untuk melawan terik. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan, semuanya bisa menerka jika ia sedang meminta kekuatan dari atas sana—juga berterima kasih.

Berterima kasih karena ia dipertemukan oleh Pak Samdong dua bulan lalu. Sepertinya langit ingin memberikan keringanan pada Jimin. Tiba-tiba laki-laki paruh baya itu datang dan mengajaknya untuk bekerja di sini sebagai tukang bangunan. Laki-laki itu juga yang mendaftarkannya hingga akhirnya mereka berpindah ke Ilsan untuk pekerjaan ini.

"Kau tidak ingin minum?" tanya Pak Samdong yang menyita atensinya. Laki-laki paruh baya itu menyodorkan botol minuman.

"Terima kasih" ia menerima dan mengaknya hingga setengah botol. Bahkan ia sampai lupa untuk meringankan dahaganya.

Tak lama, mandor datang dan meminta mereka untuk bekerja kembali. Laki-laki tadi segera memasang helmnya dan memulai pekerjaannya. Memang ini keberuntungannya. Kali ini ia mendapat tempat 'bermalam' lebih layak di sini. Tempat pengerjaan proyek disediakan kamar untuk para pekerja yang jarak rumahnya jauh, sehingga mereka tak akan terlambat. Dirinya salah satu penghuninya.

Ia menghela nafas setelah mengangkat karung semen. Sekali lagi ia menyeka keringatnya. Ia tak akan kehilangan pekerjaan lagi.

"Hahaha... kau bersemangat sekali, Jimin" Pak Samdong berhenti sejenak menyerok pasir untuk memuji Jimin.

Laki-laki itu hanya terkekeh menanggapinya. Tentu saja ia bersemangat. Sebentar lagi ia akan mendapatkan uang mingguannya dalam jumlah—yah jika dirinya yang dulu akan mengatakan jika gaji yang ia dapat sekarang tak bisa dibandingkan dengan uang sakunya—sekarang jumlah ini benar-benar ia syukuri. Ia bisa membeli banyak cup ramen untuk mengganjal perutnya selama 3 bulan.

Women Addict [M] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang