"Loh kok kakak jadi kasian sama dia?"
"Ya ... ya bukan gitu maksud nya,"
"Terus?"
"Tau ah!"
"Dih."
Kini Fattah dan Aisyah tidak saling berbicara lagi, hening! Itulah situasi taman saat ini. Aisyah dan Fattah sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing.
"Dek," panggil Isyah.
Fattah yang merasa dipanggil melirik ke samping dengan mengangkat kan kepala dan kedua alisnya.
"Menurut kakak Ara terima aja lah di rumah ibu," ucap Isyah memandang ke depan.
"L--," jawab Fattah terpotong.
"Kalo di pikir-pikir sih ya kasian Ara, dan bener kata ibu apa yang terjadi sama kak Ica itu takdir. Masa iya kita sebagai santri yang sudah tau jelas takdir Allah itu gimana tak mau nerima Ara yang jelas-jelas bukan salahnya," jelas Isyah dengan mata yang masih tertuju pada mobil yang berlalu lalang di jalan raya.
"Tapi kak ...,"
"Kenapa? Kamu gak mau nerima dia?" Isyah menatap wajah Fattah.
"Bukan gak mau nerima,"
"Terus?"
"Tadi kan kata kakak semuanya salah anak kecil itu,"
"Iya itu tadi, tapi setelah di pikir-pikir lagi ini sama sekali bukan salah Ara. Ini takdir Fat takdir," Isyah menatap kembali jalan.
"Kamu mau kan terima dia demi kakak?" Jeda Isyah dengan menarik nafas.
"Mungkin Ara adalah anak pengganti calon bayi bang Fikri, Allah ambil cabang bayi kak Ica dan bang Fikri dan Allah juga ganti dengan kedatangan Ara untuk sebagai anak angkat nya." lanjut Isyah.
"Hm ... iya juga sih ya, bismillah yaudah deh Fattah terima Ara dengan ikhlas,"
"Semoga Allah kasih kembali anak darah daging kak Ica dan bang Fikri," ucap Isyah dengan menadahkan tangannya.
"Aamiin," jawab Fattah dengan mengkenakan tangannya ke wajah, dan diikuti Isyah.
"Yaudah kita kembali ke ruangan kak Ica,"
"Iyah ayo,"
Mereka berdua bangkit dari duduk nya dan berjalan beriringan ke dalam rumah sakit, lebih tepatnya ke arah ruangan Ica.
Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai di depan pintu ruangan Ica. Perlahan Fattah memutar knop pintu dengan berucap salam.
"Waalaikumsalam,"
"Ara ... ayo ikut tante," ajak Isyah setelah ia sampai tepat di depan Ara yang tengah duduk di pangkuan Fikri.
"Kemana tante?" tanya Ara dengan menundukan kepalanya.
"Jajan, beli eskrim mau?"
Seperti ada rasa kegembiraan di hati Ara, tapi ia takut untuk menjawab girang. Ia takut dengan Isyah.
"Ayo, mau gak?" tanya Isyah kembali, sebab tadi Isyah tidak mendengar jawaban dari Ara.
"Tante gak akan jahat kok, ayo ...," Isyah menarik pelan pergelangan tangan Ara.
Perlahan Ara mengangkatkan kepalanya dan melirik ke arah Fikri, untuk meminta izin padanya.
Fikri yang mengerti langsung mengagukan kepalanya seraya tersenyum kecil.
"Ayo Ara ...," ajak Isyah lagi.
"A--ayo," jawab Ara dengan gugup.
Isyah mencekal pergelangan tangan Ara. "Bu ... pah ... bang, Isyah bawa Ara keluar yah, Assalamualaikum," izin Isyah menciumi punggung tangan Fikri, Mahesa juga Dwi. Dan diikuti oleh Ara.
"Iyah, hati-hati ...," jawab Dwi dengam senyumannya.
"Fattah ayo ikut,"
Fattah menggaguk kepalanya, dan ia menciumi punggung kedua orang tua nya juga sang abang.
____
Mon maaf makin gajeee🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sang Dokter (Slow Up)
Художественная проза17+ [Sedikit dan gak banyak mengandung unsur dewasa] Follow sebelum baca :) *** Mencintai setelah menikah itu, INDAH. mau apa-apa gak sungkan, tinggal lakuin aja. kan udah sah. *** ⚠ Cerita ini pertama buat, mohon maaf atas tada baca yang tak sesuai...