Chapter 47

93 1 0
                                    


Hari demi hari telah dilalui dirumah sakit, dan rasa pening dikepala sedikit demi sedikit menghilang. Dan perban masih melingkar dikepala.

Hari ini hari kamis, jam telah menunjukan pukul 12 siang, adzan berkumandang indah dimushala rumah sakit.

Sebagai seorang muslim aku melaksanakan shalat dzuhur. Kubentangkan sejadah ini, dan segera memakai mukena.

Tok! Tok! Tok!

Belum sempat aku selesai membaca niat, ketukan pintu membuat ku memalingkan wajah ke arah pintu. Memang iya, disini aku hanya sendiri. Karna para keluarga ku melaksanakan shalat dimushala.

"Eh mau shalat ya?" tanya pria dengan jas putih itu.

Lah? Yaiyakan, orang aku udah pakai mukena, membentangkan sejadah, dan menghadap kiblat. Jadi kalau gak mau shalat ya mau apa? Masak gitu? Atau nyanyi? Dasar Dokter!

"Yaiya Dok, kan udah liat aku pakai mukena. Aneh!" ku putar bola mata ini malas, apa-apaan coba.

"Yeh ... jan kek gitu dong,"

"Ya abis, nanya nya aneh."

"Yamapan kan,"

"Au ah, aku mau shalat dulu."

Segera aku berdiri dengan tegap dan bersiap membaca niat. "Ehh ... Ca, bareng shalatnya. Mas imamin deh,"

Huft. Ku tarik napas ini dalam-dalam, kedua kalinya ia membatalkan niatku. "Yaudah gih cepet ambil wudhu,"

Segera ia berjalan ke arah ranjang untuk membuka jas putih dan menyimpan stetoskop nya. Selama menunggu ku dudukan bokong ini dilantai, kan pegel bediri terus.

Tak memakan waktu lama, ia telah kembali dengan muka, rambut, kaki dan tangan yang basah. Segera ia membentangkan sejadah yang telah tersedia diatas nakas.

"Ayo,"

Aku segera bangkit dari duduk, dan berdiri tegak. "Komat," ucap Dokter itu yang tak lain adalah suamiku, Fikri.

Aku mulai mengumandangkan komat, setelah selesai segera suamiku memulai shalat.

5 menit kemudian.
Shalat dzuhur telah selesai dengan diakhiri salam, sebelum berdiri ku tadahkan tangan ini. "Bismillah, ya Allah ya Rob, kembalikanlah semua ingatan ku, sembuhkanlah ragaku yang masih terasa lelah ini. Aamiin yarobal alamin,"

Setelah selesai mengucapkan doa-doa yang ku panjatkan kepada Rob-ku, suamiku membalikan badannya. Ia mengulurkan tangan, dan segera kupegang tangannya lalu ku kecup punggung tangannya dengan lembut.

Wajah suamiku mendekat, ia membalas dengan mengecup kening ku, lama sekali. Masyaa Allah rasanya adem, hati ini sejuk bagaikan berada disisi pantai.

"Ca?" panggil suamiku, ia menatap dalam netra ini.

"Iya Dok? Kenapa?" balasku bertanya.

"Dok? Ke siapa?" tanyanya heran, lah? Ngapa coba, diakan dokter toh. Nanya Dok ke siapa? Huft. Sabar Ca.

"Kamulah," ucapku dengan membuka mukena.

"Kenapa manggil Dok?"

"Kan kamu Dokter, iya kan?"

"Iya sih, tapi masa ke suami sendiri manggilnya Dok, gak elit deh." ia memalingkan wajah.

"Lah, terus manggil apa? Pak gituh?" tanyaku heran, aku salah ye panggil dia Dokter? Jawab dong, butuh kepastian ini.

Ia memandangku kembali. "Yeh ya janganlah."

"Terus apa? Ayah? Abang? Kakak? Atau abi? Oh apa Daddy aja? Gak deh jiji, Emm ... papah ya? Jangan deh, kaya udah tua gitu. Oh iya iya Papah aja yakan? Gak deh nanti dikira Ayah Ica lagi. Apa dong Dok, kasi masukan dikit. Biar gak pusing ini,"

Kuberi saran yang ada diotak ini, biar dah dia pusing sendiri. Kan lucu liatnya haha. Ku pandang wajah teduh nan cakep itu, eh ... eh ... eh ... apa ini? Kenapa dia malah bengong kek gitu? Oh tidak! Jadi tadi dia gak denger dong aku ngomong apa?

"Dokter?" ku goyangkan tangannya, eh etdah kok bengongnya gak sadar? Au ah.

Segera ku percepat menilap mukena juga sajadah ini. Setelah selesai aku mulai bangkit dan berjalan ke arah ranjang, lirik bentar ah kebelakang. Wait? Dia kok gak sadar ya?

Balik lagi. Ku putar melangkah kebelakang, kenapa itu suamiku?

Dor!

"Astagfirullah,"

Jalan satu-satunya untuk menyadarkan ia ku kagetkan saja, dan hasilnya? Uwaw ia langsung sadar. Mon maaf suami, aku lakukan ini demi kebaikan hehe.

____



Apa-apaan ini? Kok makin sini makin gak enak dibaca ya? Huft dah. Mon maaf aja author gaje nan aneh ini.

Cinta Sang Dokter (Slow Up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang