Chapter 57

68 1 0
                                    

Dengan santai Ica berjalan ke arah pintu.

Ceklek.

Pintu terbuka dan menampakan wujud seorang pria dengan wajah yang tertutup bunga.

"Waalaikumsalam, cari, siapa?" tanya Ica.

"Cari seseorang yang mampu mengasuh hati dan mengasuh anak kita di masa depan."

"Maksud, Tuan, siapa?"

"Seseorang yang bisa menjadi bulan di malam hari, dan menjadi matahari di siang hari. Yang selalu setiap saat menemani."

"Maaf, Tuan, disini tidak ada orang seperti itu."

"Ada, di depan saya."

"Hah? Saya? Maaf Tuan, saya sudah mempunyai suami dan sudah mempunyai anak."

"Apapun yang sudah kamu punyai, jika bukan anak dari saya rasanya tidak enak."

"Tinggal kasih royko jadi enak kok."

Ica menutup perlahan pintu, tapi pria itu menahan dengan tangan lain yang tidak memegang bunga.

"Jangan tutup pintu, saya belum masuk di hati kamu, sayang."

'Sayang' ucapan itu seperti tidak asing bagi gendang telinga Ica. Rasaya ia sering mendengar sebutan itu, Ica menatap inci pria itu dari bawah hingga atas.

"Kayanya, kenal deh." gumam Ica, netranya teralih pada mobil hitam di halaman.

Ica tersenyum, ia kembali berjalan ke arah pria itu.

Buk!

Ica memukul keras pria di hadapannya. "Dasar laki! Kirain siapa, ish!"

Pria itu meringis sedikit, lalu ia turunkan bunga itu hinga dada. "Taraaa, suka gak? Gimana aku jago gombal 'kan?"

"Basiiii!"

"Kok, basi? Itu aku susun dengan susah payah dan hati yang adem, loh."

"Nih buat kamu," pria itu memberikan brukat bunga.

"Uuuuu, makasih. Cup!" Ica menerima sodoran bunga dari pria itu, dan mengecup pipi pria itu.

Pria itu terdiam di tempat, ia syok dengan apa yang terjadi padanya.

"Anak manis, mana, Mas?" Ica menatap sekeliling halaman, pria itu sendiri tak ada orang lain disekitarnya. Fikri, yap! Pria itu Fikri, sang suami Ica.

"Nihh," Fikri menggeser ke samping, hingga wujud gadis kecil berjilbab unggu itu terlihat.

Ica berjalan ke arah gadis manis itu, Dan ia mensejajarkan dengan gadis kecil itu. Ica langsung menarik gadis itu hingga berada di pelukannya.

"Anak manis, kamu  mau tinggal sama Tante, 'kan?" tanya Ica melepaskan pelukannya.

Bukannya membalas, gadis manis berbentuk kecil itu menundukan kepalanya.

"Loh, Sayang, kenapa nunduk? Gak mau, ya?" tanya Ica heran.

Lagi, tak ada jawaban. Gadis kecil itu masih menundukan kepalanya.

"Gak mau, ya?" ulang Ica.

"Liat Tante dong," lanjut Ica memengang kedua pipi gadis itu.

Tatapan pertama, gadis kecil itu menatap netra Ica lama. Ada sebuah rasa bahagia di dalam gadis itu.

Ia tersenyum manis, da menjawab. "Mau, Tante."

Ica kembali memeluk erat tubuh mungil Ara, gadis itu bernama Tiara. Jika bukan dia, siapa lagi dong?

"Makasih, Sayang. Yuk, sekarang masuk."

Baru saja Ica akan memangku gadis itu, tapi Fikri menghentikannya dengan berbicara. "Kok, banyak sepatu, ada siapa di dalem?"

"Liat aja,"

Ica ingin memangku gadis itu lagi, tapi terhenti dengan ucapan manisnya. "Ara bisa jalan, Tante."

"Yaudah deh, ayo." Ica dan Fikri menuntun Ara, mereka sangat serasi, layaknya seperti keluarga bahagia.

Mereka berjalan beriringan hingga masuk ke dalam.

Setelah meraka sampai di dalam, seluruh orang yang tengah duduk memakan kue menatap ke arah Ica.

"Anak kecil itu siapa, ya?"

"Ih lucu, siapa dia?"

"Kyud banget yaampun, pen cubit ih."

"Uuuh pipinya kek bakpau, imut sekalii."

Ucapan demi ucapan di lontarkan oleh anak murid Ica, tapi Ica, Fikri dan juga Ara tak mendengarnya. Sebab, mereka bisik-bisik.

Seluruu murid Ica berdiri, mereka berjalan ke arahnya dan menciumi punggung tangan Fikro dengan takjim.

"Saya akan ke atas dulu, kalian silahkan makam-makan kuenya." ucap Fikri pamit dan melenggang pergi.

Ica dan Ara tidak ikut, sebab Ica masih mempunyai tamu. Setelah duduk dengan nyaman, Ica melahun Ara.

"Kamu mau apa, Sayang.  Kue? Atau kripik?" tanya Ica pada putrinya.

"Gak mau, Tante."

"Hey, adek manis. Sini sama kakak," ucap gadis berambut sebahu pada Ara.

Ara menatap Ica, ia meminta persetujuan darinya. Dan Ica pun mengerti, ia mengaguk dam tersenyum sebagai jawaban.

"Siapa dia, Ca?" bisik Disya pada sahabatnya.

"Anakku," balas Ica tersenyum.

Disya mengaga, ia tak mengerti apa yang di ucapkan Ica barusan.

"Anak angkat, maksudnya." lanjut Ica. Disya mengaguk-agukan kepala tanda ia mengerti.

***

Kini rumah Alfarizi telah sepi, anak murid juga sahabat Ica telah pulang sejam yang lalu.

Fikri, Ica dan Ara tengah duduk santai di balkon kamar. Mereka menghabiskan waktu bersama di balkon kamar dengan di temani es teh dan kripik kentang.

"Sekarang kamu anak Tante," ucap Ica memeluk Ara.

"Jadi, kamu panggil Tante, Bunda, oke?"

"Dan kamu, panggil suami Tante, Ayah." lanjut Ica.

Ara tersenyum manis. "Iya, Tante. Eh, Bunda hehe," ucap Ara cengegesan.

Fikri dan Ica hanya terkekeh geli, mereka bahagia, meski darah daging mereka telah Tuhan ambil lagi, tapi mereka mendapatkan anak yang manis dan lucu.

"Kamu udah urus surat adopsi Ara, Mas?" tanya Ica menatap suaminya.

"Belum, Sayang. Mungkin besok aku urus,"

"Baiklah."

Mereka bertiga kembali melanjutkan memakan kripik kentang, sesekali mereka saling suap menyuapi.

...

Cinta Sang Dokter (Slow Up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang