"ngopi yuk Ra, kayanya disana tempatnya enak buat ngopi" Ricky menunjuk sebuah coffee shop dengan bangunan era Belanda yang kokoh. Lampu redup temaram menambah suasana romantis.
Kami masuk kedalamnya, dengan dinding berwarna putih gading dan lantai merah khas rumah-rumah tempo dulu.
"Iced cappucino dan caramel machiato yaa" Itu yang Ricky pesan sebagai teman ngobrol kami.
Tempat duduk diarea paling dalam kami pilih. Lebih romantis karena dihiasi bunga-bunga berwarna warni di setiap sisi nya.
Ricky duduk dihadapanku. Dengan begitu, aku bisa puas memandanginya. Kami mulai bercerita tentang banyak hal. Sepertinya memang tak pernah habis topik untuk kami ceritakan. Dia bercerita tentang adik lelaki kesayangannya. Terlihat jika Ricky ini memang lelaki yang penyayang, diluar penampilannya yang sedikit urakan.
Lalu ia bercerita tentang, Denny sahabat karibnya. Mendengarnya bersemangat menceritakan tentang betapa bangganya dia terhadap kawannya itu, mebuatki semakin kagum pada Ricky. Betapa dia adalah seorang teman yang sangat tulus dan perhatian.
"Ricky, apakah kamu juga menceritakan tentangaku pada seseorang, dengan mata berbinar-binar, seperti saat kamu bercerita tentang sahabatmu ini padaku? Tanpa harus dijelaskan, aku bisa merasakan rasa bangga dan ketulusan dari setiap perkataanmu, beruntungnya dia memilik teman sepertimu" ujarku dalam hati.
*
*
"Ra mampir dulu minimarket yaa, aku mau beli pencuci muka" ajak Ricky saat kita keluar dari coffee shop.
"Nanti aja deh, disana juga banyak kok, keburu malam nanti tambah rame" jawabku pada Ricky.
Kami memang berencana untuk melanjutkan jalan-jalan malam kami ke kawasan Asia Afrika. Sekedar menuntaskan rasa penasaran Ricky.
"Oke deh!" Sahut Ricky.Sekitar satu jam kami disana, menyusuri sudut-sudut kota, duduk dikursi-kursi pinggir jalan. Tak ada kegiatan yang special. Hanya karena Ricky lah malam ini jadi tak biasa.
"Mau jalan kemana lagi kita?"tanyanya masih bersemangat.
"Pulang deh yuk, aku capek nih" pintaku. Bayangkan saja, setelah menghabiskan malam penuh gairah bersamanya, aku masih harus pergi bekerja keesokan paginya. Tak habis disitu, selepas jam kantor aku masih harus menemaninya berjalan-jalan malam."Yaudah deh ayo pulang" jawabnya setuju meski terlihat wajahnya agak menekuk.
Diperjalanan dia hanya diam, aku yang terus mengajaknya bicara. Entah karena apa dia menjadi murung. Rasanya terlalu kekanakan jika dia marah karena aku minta pulang. Aku rasa aku sudah cukup menemaninya berjalan-jalan malam ini. Dari mulai berfoto di tempat nasi goreng, bercerita di coffee shop, bahkan berjalan kaki hingga Asia Afrika.
Didalam lift menuju lantai dimana kamar kami berada, aku bertanya padanya. "Kamu kenapa ?" Tanyaku
"Aku? Gak apa-apa." Jawabnya singkat dan ketus. Aku putuskan untuk tak bertanya dulu.Aku sering dan sangat Pro jika menghadapi dia yang marah dan merajuk di whatsApp. Tapi menghadapi secara langsung Ricky yang tiba-tiba badmood, ini adalah pertama kalinya.
Sesampai dikamar, semakin jelas terlihat jika wajahnya sedang ditekuk. Merengut dan cemberut. Tapi Ricky selalu menjawab "aku gak apa-apa" setiap kali aku tanya "kamu kenapa sih?" Bahkan dia menyuruhku menjauh darinya ketika aku mendekat "kesanalah, gerah !" Padahal aku selalu menempel padanya setiap saat, dan dia tak pernah keberatan.
Rasanya sungguh aneh berada dalam satu kamar tapi kita saling diam. Ricky terbaring diujung kasur, dan aku di ujung yang lainnya.
Aku benar-benar tak tahan dengan suasana ini. Kamar menjadi sangat pengap dan menyesakan. Kamar yang kemarin menjadi tempat peraduan kami, kini berubah menjadi arena perang dingin. Aku ingin keluar dari sini .
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sex Partner | COMPLETE (21+)
General FictionRara, seorang single parent yang baru saja berpisah dengan kekasih barunya . Tapi ada yang tak bisa membuat mereka benar-benar terpisah . Antara cinta dan sex . Bisakah Rara terlepas dari belenggu sex bebas ?