Wedding Gift
Begitu mereka tiba di bandara Vancouver, Kanada, Kris sudah menunggunya. Begitu melihatnya, pria berambut pirang yang memang lebih muda dua tahun darinya itu melambai riang. Menghampirinya, tatap Kris teralih pada Ellena.
"Your wife?" tanyanya.
Jelas Rendy pelakunya.
"Yes." Zane tak tahu kenapa ia merasakan dadanya mengembang hanya dengan jawaban pendeknya itu.
Kris tersenyum pada Ellena. "You guys look great together."
"Thanks." Jawaban singkat itu datang dari Ellena, tapi tidak diucapkan dengan sinis, dan Zane tak dapat menahan senyumnya.
Kris lalu menyerahkan sebuah tas ransel hitam padanya. "All you need is here. We'll meet again soon. Have a nice time with your wife."
Kris bahkan tak menunggu jawaban Zane ataupun Ellena ketika berbalik dan pergi.
"Dia sibuk," Zane memberi alasan pada Ellena akan sikap Kris. Padahal sebenarnya, memang seharusnya mereka tidak bertemu di tempat terbuka seperti ini. Apalagi ketika menyampaikan misi.
Ya. Ransel yang kini berada di tangannya, tidak hanya berisi semua keperluannya selama di Kanada, tapi juga keterangan tentang misinya. Nanti malam, ia akan bertemu lagi dengan Kris, bersama timnya.
Zane segera mengecek isi ranselnya, mengeluarkan dua buah ponsel dan sebuah kunci mobil. Mobilnya. Ia memang sempat membeli mobil ketika menjalankan misi di negara ini. Tepat saat ia menutup ranselnya kembali, salah satu ponsel di tangannya berdering.
"Barangnya udah aku terima," Zane berbicara begitu mengangkat telepon.
"Okay. make sure to be safe. And there's your wedding gift in your bag," ucap suara di seberang.
Zane mengerutkan kening. Ia belum mengecek yang lain. Ia hanya mengambil tiga hal penting yang dilihatnya paling atas, yang memang diperlukannya saat ini.
"I'll see you this midnight, then," suara di seberang berbicara lagi, sebelum ia menutup telepon begitu saja.
Dan kenapa dia terus menggunakan bahasa Inggris jika dia bisa berbicara dengan bahasa Zane dengan lancar. Itu, adalah salah satu poin yang dibenci Zelo dari pria tua itu. Zelo benar-benar tidak pernah akur dengan pria itu. Zane tersenyum kecil teringat adiknya itu.
"Itu tadi ... siapa?" Pertanyaan Ellena membuat Zane menoleh.
Zane tersenyum. "Temanku. Mereka udah nyiapin semuanya buat kita di sini." Zane menggoyangkan ransel di tangannya, lalu mengangsurkan salah satu ponsel pada Ellena.
"Ini ... apa?" Ellena menatap ponsel itu dan Zane bergantian.
"Selama kita di sini, kita bakal pakai hape ini biar nggak ada yang bisa ngelacak kita lewat nomer kita," Zane memberitahu. "Nomer baruku udah ada di situ."
"Ah." Ellena mengangguk, lalu menerima ponsel itu.
Zane lalu mengulurkan tangannya. Tapi, ketika Ellena malah menatapnya bingung, Zane meraih tangan gadis itu dan menggandengnya keluar. Saat Zane membawa mereka ke Audi S4 Sedan Quattro merahnya, ekspresi pertama gadis itu saat melihat mobil itu adalah mengerutkan kening heran.
"Ini ... mobil siapa? Temanmu?" tanyanya.
"Punyaku. Aku pernah tinggal di sini beberapa waktu," Zane menjelaskan singkat.
"Punyamu?" Ellena melotot tak percaya menatap Zane kini. "Kamu sendiri yang beli? Kamu sendiri yang milih?" Gadis itu tampak ragu.
'Bukannya dia biasanya paling anti sama warna-warna mencolok kayak gini?'
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm With You (End)
Non-FictionMeskipun Zane mencintai Ellena, ia harus melepsakan gadis itu karena tidak ingin menyakitinya. Tapi siapa sangka, takdir justru kembali menyeretnya pada gadis itu, seolah tahu perasaan Zane padanya tak sedikit pun berubah sejak mereka berpisah lima...