Misi
Zane melihat dari pikiran Ellena, gadis itu duduk di beranda di luar kamarnya, menatap lurus ke Indian Arm. Sementara tatapannya tertuju ke sana, pikirannya terus berbicara,
'Sampai kapan aku bakal di sini? Kapan masalah ini selesai? Apa masalah ini beneran bisa selesai?'
Zane mengernyit, menelan rasa sakitnya sendiri.
'Dan sampai kapan, aku harus pura-pura kalau aku baik-baik aja?'
Zane tahu akan seperti ini. Ia tahu bagaimana rapinya Ellena membungkus semua emosinya dalam ketenangan pura-puranya. Gadis itu sudah terbiasa menyembunyikan segala emosinya dalam ketenangan. Bahkan dulu, ketika mereka masih bersama. Satu hal yang tidak gadis itu tahu, tak peduli serapi apa pun ia berusaha menyembunyikan emosinya, Zane bisa melihatnya, dengan sangat jelas.
Seperti halnya saat ini.
Selama hampir satu jam setelahnya, Zane terus melihat ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran Ellena. Kali ini, alasan gadis itu menutupi semua dalam ketenangannya adalah karena ia tak ingin membuat Zane mencemaskannya lagi.
Setelah pikiran Ellena tenang selama beberapa waktu, Zane menunggu, sampai ia bisa melihat mimpi di kepala gadis itu. Setidaknya bukan mimpi buruk. Zane lalu melompat berdiri dari sofa ruang keluarga, sebelum naik ke kamar tidur utama, dan keluar untuk memindahkan Ellena yang tertidur di kursi santai di beranda ke tempat tidurnya.
Zane menyelimuti Ellena, tapi bahkan setelahnya ia tak segera beranjak, memutuskan untuk menatap wajah lelap Ellena lebih lama. Setidaknya, betapa pun lelahnya ia, betapa pun terlukanya ia, mendapati Ellena ada di sisinya, baik-baik saja, itu sudah cukup menenangkannya.
Tapi kemudian, suara-suara pikiran yang sudah ia kenal memenuhi kepalanya, dan Zane bergegas meninggalkan kamar itu, turun ke bawah, tepat ketika serombongan orang masuk lewat pintu belakang rumahnya. Tentu saja. Apa yang ia harapkan? Ia sudah bersyukur mereka tidak masuk dari lantai dua, kan?
"Time to work, Big Boy," pria yang paling tua dalam rombongan itu berkata.
Zane tersenyum. "Thanks buat hadiahnya, John."
Pria tua itu, John, tersenyum lebar. "Istrimu suka?"
Zane mengangguk. "Dia pikir kamu gila."
John tertawa pelan, sepertinya tahu jika Ellena sudah tertidur. Jika tidak, tidak mungkin dia datang lewat pintu belakang.
"Sejak kapan kamu ngawasin rumahku?" tuntut Zane.
"Apa istrimu itu sama sekali nggak kedinginan di luar sana? Terlalu betah dia di luar," John memberikan jawaban.
Zane mendengus pelan. "Dia butuh pengalih perhatian. Dengan gitu, dia bisa sejenak ngelupain orang-orang yang ngejar dia."
Ekspresi John seketika serius.
"Rendy udah cerita semuanya, kan?" Zane memastikan.
"Aku nggak percaya kamu akan terlibat sejauh itu. Apa kamu tahu apa yang kamu lakukan ini?" John mengangkat alis.
Zane mendengus pelan. "Ngelindungin cewek yang aku cintai."
John mengangguk. "Jadi, jangan sampai kamu gagal ataupun terluka dalam misi ini."
Zane mengangkat alis. Lalu, John mengedik ke arah ruangan kosong di lantai itu. Ruangan yang memang direncanakan Zane sebagai ruang kerjanya. Zane bersama John dan rombongannya masuk. Kris juga ada di rombongan itu.
Begitu mereka berada di ruangan itu, Zane menatap timnya. Kris, ia tahu anak itu punya kemampuan hacking yang luar biasa. Sekelas dengan Rendy. Sementara dua orang lainnya, ia pernah bekerja sama dengan mereka saat melakukan misi di negara ini. Si gadis berambut merah, Veronica, yang biasa dipanggil Ronnie, dan si pria yang seusia dengan Kris, tapi dengan pembawaan lebih kalem, Matt. Setidaknya, kedua orang itu juga bisa berbahasa Indonesia, lebih baik dari Kris.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm With You (End)
Non-FictionMeskipun Zane mencintai Ellena, ia harus melepsakan gadis itu karena tidak ingin menyakitinya. Tapi siapa sangka, takdir justru kembali menyeretnya pada gadis itu, seolah tahu perasaan Zane padanya tak sedikit pun berubah sejak mereka berpisah lima...