Akankah Dia Kembali?
Ellena tidak lagi menghitung sudah berapa hari yang ia lewati sejak Zane tak lagi bisa dihubungi. Ia hanya ingat, sehari setelah Zane tak bisa dihubungi, Zelo sudah berkeras akan pergi menyusul Zane, mencarinya, tapi Matt dan Ronnie berhasil menahannya, memintanya menunggu. Tapi, Ellena bahkan tak ingat sudah berapa hari berlalu sejak hari itu.
Dan ia masih di sini. Menunggu. Bahkan meski tanpa kepastian.
"Ellena." Panggilan pelan, iba, dari Zelo itu membuat Ellena segera mengenyahkan segala pikirannya tentang Zane. Ia toh bisa melanjutkan itu nanti, begitu ia sudah berada di kamarnya, sendirian.
Ellena bisa merasakan tatapan Zelo dan ia berusaha secuek mungkin menuangkan air dari teko ke gelas di tangannya.
"Sori," Zelo berkata, seketika menghentikan tangan Ellena di udara.
Ellena menarik napas seraya meletakkan teko airnya di meja. "Kenapa?" balasnya tanpa emosi.
"Karena apa yang harus kamu lewatin karena Zane." Zelo memalingkan wajah.
Ellena tersenyum tanpa emosi. "Kenapa kamu yang harus minta maaf? Dia yang udah bikin aku cemas kayak gini. Harusnya dia yang datang sendiri dan ngomong langsung ke aku."
Zelo mengernyit, sebelum berbalik dan meninggalkan Ellena di meja makan.
Ellena menatap gelas di tangannya, menggenggamnya erat. Apa Zane benar-benar tidak akan kembali? Jika pria itu benar-benar tidak akan kembali ...
"Dia bakal balik," Zelo yang tiba-tiba kembali memasuki dapur berkata. "Dia bakal ngelakuin apa pun buat balik ke kamu."
Ellena tersenyum getir. "Makanya kamu sampai secemas ini? Sepanik ini? Setakut ini?"
Zelo tampak merasa bersalah. "Sori. Harusnya di saat kayak gini, aku ..."
"Nggak perlu minta maaf," sela Ellena. "Dia kakakmu. Wajar kalau kamu cemas. Wajar kalau kamu takut. Kamu juga pasti tahu apa yang harus dia alami di luar sana. Kamu juga pasti tahu kemungkinan terburuk yang harus dia hadapi di luar sana."
"Dia bakal balik," Zelo kembali berkata, tapi lebih terdengar seperti usahanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Ellena mendekati Zelo, menepuk bahunya ringan, lalu memeluknya singkat.
"Dari kepalaku, kamu udah tahu dengan pasti, kamu bisa ngelihat dengan jelas, apa yang harus aku lewatin, apa yang aku rasain. Jangan bikin Veryn ngerasain ini juga, hm?" pinta Ellena lembut.
Zelo mengernyit, tampak terluka, tapi anak itu tak mengatakan apa pun.
"Ini jalan yang dipilih Zane. Aku nggak punya hak buat marah atas pilihannya. Aku toh bukan siapa-siapa buat dia," ucap Ellena sebelum ia melewati Zelo dan naik ke kamarnya.
"Kamu tahu dia cinta banget sama kamu!" seru Zelo dari bawah. "Kamu tuh, hidupnya Zane!"
Ellena tak menghentikan langkah dan terus berjalan menaiki tangga.
Apa kata Zelo tadi? Zane mencintai Ellena? Ellena adalah hidupnya? Karena itukah saat ini pria itu meninggalkan Ellena seperti ini?
Ellena segera menutup pintu kamar begitu tiba di kamarnya, bersandar di pintu kamar, tatapannya tertuju ke arah beranda, teringat kembali percakapan terakhirnya dengan Zane di sana. Teringkat kata-kata terakhir yang ia ucapkan pada pria itu.
"Brengsek."
Ellena saat itu hanya mengucapkannya dalam kepalanya, melemparkan semua kemarahan dan kebenciannya pada satu kata itu, berniat menyakiti Zane sebesar pria itu menyakitinya. Tapi, di sinilah ia sekarang. Terluka sendiri karena penyesalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm With You (End)
Non-FictionMeskipun Zane mencintai Ellena, ia harus melepsakan gadis itu karena tidak ingin menyakitinya. Tapi siapa sangka, takdir justru kembali menyeretnya pada gadis itu, seolah tahu perasaan Zane padanya tak sedikit pun berubah sejak mereka berpisah lima...