Kebenaran Mengerikan
Tidak mungkin.
Dua kata itu terus berputar di benak Ellena sejak ia memasuki kamarnya tadi. Ellena duduk menekuk lutut di atas tempat tidur, mendongak menatap langit-langit, merasa perlu protes tentang ketidakmungkinan itu. Zane bisa melihat ke dalam pikirannya? Mendengar pikirannya? Memangnya dia siapa? Dia ... apa?
Tapi, Zane benar-benar tahu perasaan Ellena. Ellena tidak pernah mengatakan pada siapa pun tentang itu. Tentang bagaimana ia menyembunyikan semua kesedihannya, kekecewaannya, dan terus tersenyum di depan pria itu. Tentang bagaimana ia meredam semua tanya, menelan semua getir, dan memutuskan untuk memahami pria itu meski tanpa satu pun alasan atau penjelasan.
Setelah semua yang dilakukan pria itu padanya, bagaimana bisa dia mengatakan jika dia ... mencintai Ellena? Pria brengsek itu benar-benar keterlaluan. Jika dia memang benar-benar bisa ... melihat dan mendengar pikiran Ellena, maka Ellena ...
Ellena menenggelamkan wajah di lututnya, meredam teriakan frustrasinya di sana. Ia tidak ingin memikirkan itu lagi. Tidak satu pun pikiran tentang Zane. Ia tak peduli apakah Zane bisa melihat atau mendengar pikirannya, ia tidak peduli apakah Zane berbohong padanya atau tidak, ia hanya tidak ingin memikirkan semua itu. Terlebih, tentang kata-kata pria itu tentang perasaannya. Cinta? Setelah semua ini? Apa pria itu sudah gila? Ellena bahkan tidak mau memikirkannya.
Tapi, setiap kali Ellena mengusir pikiran itu dari kepalanya, hatinya yang terasa sakit. Seolah menolak untuk tidak memikirkan itu. Kenapa hatinya bahkan tak mau membantunya di saat-saat seperti ini?
Ellena memejamkan mata saat air mata satu-persatu jatuh ke pipinya. Seiring rasa sakit seolah menyerang seluruh tubuhnya. Kenapa ia harus merasakan sakit separah ini? Ia bahkan tak tahu apa salahnya.
***
Bukan Ellena yang salah. Sama sekali bukan salah gadis itu. Zane yang tak bisa mencegah dirinya jatuh cinta pada gadis itu, dan pada akhirnya malah menyakiti gadis itu karena keegoisannya.
Zane bersandar di luar pintu kamar Ellena dengan mata terpejam, membiarkan pedih mengoyak dadanya saat ia melihat air mata gadis itu. Tapi, Zane sudah menetapkan hatinya. Ia ingin berada di samping Ellena. Gadis itu bisa membencinya, marah padanya, memakinya, dan Zane tidak akan pergi. Tidak lagi.
Selama tiga puluh menit berikutnya, Zane masih berdiri di sana, hingga ia bisa melihat mimpi dari kepala Ellena. Gadis itu bermimpi buruk. Ia berada di tengah hutan, dan berlari menjauh, menghindar dari seseorang. Beberapa kali ia terjatuh, tapi ia terus berlari.
Zane dengan hati-hati membuka pintu kamar utama, menghampiri Ellena yang bersandar di kepala tempat tidur dengan lutut tertekuk. Zane mengulurkan tangan, mengusap lembut kepala gadis itu, berharap itu akan mengusir mimpi buruknya.
Tubuh Ellena tampak lebih relaks ketika gambaran dalam kepala gadis itu berganti sungai. Ellena berbaring di atas batu, menikmati suara air yang mengalir, dan pepohonan di sekelilingnya. Sementara tangannya menggenggam sesuatu, tangan seseorang, dengan erat.
'Jangan pergi,' Ellena berbicara dalam mimpinya.
Zane mencelos. Sayangnya, pinta Ellena itu hanya dalam mimpinya. Zane meraih tubuh Ellena untuk membaringkannya dengan nyaman di atas tempat tidur. Setelahnya, Zane segera meninggalkan kamar itu, khawatir ia akan tergoda untuk memeluk Ellena, hanya karena egoisnya.
Saat Zane turun ke bawah, pintu belakang terbuka. Kris, Matt, dan Ronnie masuk. Tidak hanya mereka, John juga ikut datang malam itu. Apa dia sudah menyiapkan misi baru untuk Zane?
"John, apa ada yang perlu kamu omongin sama aku?" tanya Zane saat John masuk ke ruang kerjanya.
John mengangguk. Begitu Zane menutup pintu kerjanya, hal pertama yang diucapkan John sukses memaku Zane di tempatnya,
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm With You (End)
Non-FictionMeskipun Zane mencintai Ellena, ia harus melepsakan gadis itu karena tidak ingin menyakitinya. Tapi siapa sangka, takdir justru kembali menyeretnya pada gadis itu, seolah tahu perasaan Zane padanya tak sedikit pun berubah sejak mereka berpisah lima...