Hari-hari Ara tak sebahagia dulu, ia sering sendirian, dan merenung memikirkan hal yang akan ia ambil. Ia bingung dan bimbang dengan jalan yang ingin ia ambil.
Ara menatap sebuah kertas yang baru beberapa menit lalu ia bikin, ia ragu-ragu untuk memberikan surat itu. Setelah lama berpikir Ara beranjak pergi menuju ruangan seseorang.
Sesampainya Ara di depan ruangan itu, ia menarik nafasnya dalam-dalam, berdoa semoga dipermudah.
"Asalamualaikum"
"Wa'alaikumussalam. Masuk!"
"Pagi Pak"
"Pagi, Duduk Ra. Tumben ke sini, ada apa?"
"Ini Pak" jawab Ara sambil menyodorkan sebuah Map
"Beneran?"
"Iya Pak, saya sudah yakin dengan keputusan ini"
"Nanti saya tindak lanjuti ya, semoga ini benar-benar pilihan terbaik untuk kamu Ra"
"Aamiin Pak. Jangan bilang siapa-siapa ya Pak"
"Oh jadi privasi nih?"
"Iya Pak. Makasih Pak"
"Sama-sama Ra"
"Yaudah saya kembali ke ruangan ya"
"Silakan. Secepatnya saya kasih tau"
"Baik Pak. Permisi"
Ara mampu bernafas lega setelah surat itu ia berikan. Ia sudah yakin dengan keputusannya.
"Ara...tunggu" ucap seseorang di belakangnya, Ara menoleh kebelakang.
"Azam, ada apa?"
"Akhir-akhir ini kita jarang bersama, kamu menghindar?"
"E...enggak, aku tidak menghindar, memang aku sibuk Zam, makanya jarang keluar ruangan"
"Aku kira kamu menghindari ku Ra, minggu joging yuk"
"Yah gak bisa, aku mau ke Bogor"
"Ngapain?"
"Ke rumah Nenek lah"
"Hem...baiklah"
"Dah aku mau kembali ke ruangan ya"
"Iya" jawab Azam. Ara melangkah pergi meninggalkan Azam, Azam merasa dengan perubahan Ara akhir-akhir ini.
Sesampainya di ruangan, Ara duduk di kursinya, dan meletakkan wajahnya di atas meja. Sebelumnya ia tidak pernah merasa segalau ini, begitu banyak pikiran yang ia pikirkan.
"Allah sayang kamu, oleh sebab itu Allah kasih kamu berbagai macam cobaan agar kamu kuat dan lebih dekat lagi denganNya" ucap Ara pada dirinya sendiri.
"Kembalikan senyuman mu, cerialah, bangkitlah, kadang kecewa memang membuatmu patah. Tapi kamu tidak boleh kehilangan Arah, jangan terlalu larut dalam luka, tanpa dirinya kebahagiaan bisa kamu dapatkan"
"Ngomong sendiri?" Farah berdiri di depan pintu sambil menatap Ara. Tiba-tiba Air mata Ara membasahi pipinya, Farah bingung melihat Ara yang menangis, Farah langsung menghampiri Ara dan memeluknya. Ara pendam sendirian kesedihannya, tak ada yang tau selain dia dan Allah.
"Hei kenapa?"
"Aku sudah tidak sanggup menahan air mata ini Far, aku...aku...benar-benar ingin menangis" tangis Ara pecah dipelukan Farah.
"Menangislah, setelah itu ceritakan semuanya" Farah mengusap lembut kepala Ara yang tertutupi hijab. Setelah puas menangis dipelukan Farah, perasaan Ara sedikit membaik.
"Ternyata kedekatan ku dengannya menimbulkan perasaan yang lebih, saat aku menyadari perasaan itu hadir, namanya lah yang sering ku sebut dalam doa-doa ku Far, aku sudah menaruh harapan terlalu tinggi pada makhluk Nya dan sekarang akhrinya aku yang kecewa, aku tidak bisa mengontrol perasaan ini, sehingga berujung kecewa, aku tak pernah berpikir semua ini akan terjadi"
"Azam?" tanya Farah seakan tau siapa orangnya.
Ara mengangguk pelan, "Sebentar lagi dia akan menikah, andai aku tau dari awal, mungkin tidak seperti ini akhirnya, mungkin aku tidak terlalu berharap mungkin bukan namanya yang selalu aku sebut."
"Sudah, jangan bersedih lagi, ikhlaskan, biar yang lebih baik datang menjemputmu. Ara! Allah mempunyai seseorang yang lebih baik untuk kamu, Allah sayang kamu Ara, sayangnya Allah ada dua cara, pertama disatukan dengan orang tepat, kedua dipisahkan dengan orang yang salah. Apapaun yang kamu minta Allah lebih tau apa yang pantas kamu terima. Kata orang jodoh itu memang unik Ra, dia yang di jaga bisa hilang, dia yang dipertahankan bisa pergi, dan dia yang tidak diharapakan bisa datang. Ingatlah bahwa sesuatu yang baik tidak akan Allah izinkan pergi kecuali akan digantikan dengan yang lebih baik. Sabar Ara" Farah mencium kepala Ara, ia ikut sedih melihat Ara yang tiba-tiba saja menangis, yang Farah tau wanita yang di sampingnya ini kuat, Ara tidak pernah terlihat lemah bahkan menangis di hadapannya
Setelah merasa lega dan mulai membaik, Ara mengusap air matanya, lalu tersenyum manis pada Farah, memberitahu bahwa baik-baik saja.
"Ara kuat! Ara tidak boleh lemah hanya gara-gara dia, Ara harus terima dan ikhlas"
"Iya Farah, aku coba, makasih ya, tidak salah Allah pertemukan ku dengan sahabat sebaik kamu. Aku sayang kamu Fah" Ara memeluk Farah.
"Aku juga. Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti kamu Ra, semoga persahabatan kita ini tetap bertahan sampai syurga Nya"
"Aamiin"
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Ara menatap orang yang berada di depan pintu ruangannya, kehadirannya kembali mengundang luka.
"Bilqis"
"Ara"
"Masuk sini" Ara tersenyum menyambutnya
"Azam ngajak kamu makan siang bersama, mau ya?"
"Baik, sekarang?"
"Sibuk gak?"
"Enggak, ini sudah jam istirahat"
"Ayo" ucap Bilqis
"Kamu yakin?" Farah berbisik ditelinga Ara
"Yakin, tenang saja. Aku pergi" ucap Ara
Ara dan Baqis berjalan bersama melewati lorong rumah sakit. Ia menghargai tawaran Bilqis, yang rela menghampiri Ara hanya untuk mengajaknya makan siang bersama, Ara tidak memperdulikan perasaannya, yang terpenting baginya adalah dengan kehadirannya bisa membuat Azam bahagia, Ara tidak ingin Azam berpikiran macam-macam tentang dirinya yang mulai menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Mempersatukan Kita (TAMAT)
Teen FictionDILARANG PLAGIAT! PLAGIAT MINGGIR! HARGAI KARYA ORANG JIKA KAMU INGIN DIHARGAI JIKA TERDAPAT KESAMAAN DALAM NAMA TOKOH, TEMPAT, KATA-KATA DAN ALUR ITU UNSUR TIDAK KESENGAJAAN CERITA INI MURNI DARI IMAJINASI SAYA Sequel dari Cerita TAKDIR KU MENJAD...