Merenung adalah kebiasaan Ara akhir-akhir ini. Ia juga sering diam, Ara tidak banyak bicara, pikirannya stres karena masalah yang ada pada dirinya. Hanya Allah dan dia yang tau tentang perasaannya saat ini, tapi ia tidak akan putus asa, selama masih ada jalan keluarnya pasti Ara lakukan.
"Ara..." Karin membuyarkan lamunannya
"Bun..."
"Kenapa? Dari tadi Bunda perhatikan kamu merenung aja" Karin meletakan minuman di depan Ara
"Gak papa Bun. Rafiq mana?"
"Di kamar"
"Sudah kerja dia Bun?"
"Sudah Alhamdulillah, dia kerja di kantor pengadilan"
"Alhamdulillah. Bisa punya uang sendiri dia"
"Iya. Nih tumben ke rumah Bunda, ada apa?"
"Cuma mau mampir aja, sudah lama Ara tidak ke sini"
"Syukur ingat rumah kamu, Bunda kira lupa, kamu jarang nemuin Bunda, gak rindu sama Bunda?"
"Bukanya gitu Bun, Ara sibuk banget di klinik. Ara rindu sama Bunda. Malam ini Ara tidur di sini"
"Eh kok tiba-tiba"
"Abang kena shift malam Bun"
"Kamu sakit?"
"Enggak, Ara sehat kok" Ara tersenyum manis menatap sang Bunda
"Bunda liat kamu kurang semangat, bicara kamu juga beda. Bertengkar dengan Azam?"
"Eh enggak Bun, kami baik-baik saja"
"Kak Ara..."
"Fiq...bangun tidur?" tanya Ara
"Iya Kak. Kak Ara nginap gak?"
"Iya, memang kenapa?"
"Gak papa, sepi rumah gak ada Kakak"
"Cari bini biar rumah ini gak sepi, cari yang cerewet suka teriak-teriak" ucap Ara. Karin yang mendengarnya tertawa
"Yang cerewet cuma Kak Ara, karena Kak Ara makhluk yang langka"
"Waduh...nih gimana enak gak kerjaannya?"
"Lumayan sih Kak, capek iya, tapi Rafiq suka kok"
"Nikmati, jalani, syukuri. Kalau sudah gajian jangan lupa traktir Kakak"
"Baru dua minggu kerja sudah minta traktir. Rafiq mau ke dapur dulu" ucapnya melangkah pergi meninggalkan Ara dan Karin di ruang tamu.
Ara kembali termenung, tatapannya kosong, masalah yang ada pada dirinya sangat mempengaruhinya, ia terlalu berlebihan memikirkan hal itu.
"ARA"
"Astaghfirullah...Bunda..."
"Kaget? Ngelamun mulu, nanti kesambet, jangan ngelamun, gak baik, apalagi kalau pikiran kamu kosong"
"Pikiran Ara gak bakalan kosong Bun, malah berlebihan, banyak hal yang di pikirkan"
"Bunda yakin Ara pasti lagi ada masalah"
Ara tersenyum tipis, "Tidak semua masalah bisa Ara ceritakan, nanti Ara ceritakan pada Bunda. Ara mau ke kamar dulu" ucapnya beranjak pergi meninggalkan Karin. Karin mengerutkan keningnya, bingung dengan sifa Ara saat ini, ia juga khawatir jika terjadi sesuatu dengan putrinya.
Malam ini ia akan menginap di rumah orang tuanya, setelah Azam berangkat kerja, Ara langsung pergi menuju rumah orang tuanya, dan Azam pun mengizinkannya.
Sesampainya di kamar, Ara merebahkan tubuhnya, ia melepaskan hijabnya, lalu mengambil boneka beruang yang ada di sampingnya.
"Maafkan Ara...maafkan Ara yang belum bisa memberikan apa yang Abang inginkan" ucap Ara sambil menatap boneka itu. Ara tau, Azam sangat-sangat ingin mempunyai seorang anak, walaupun Azam bilang ia tidak masalah, tapi dari matanya mampu Ara baca ada sebuah kekecewaan yang Ara nampak dari mata Azam.
"Ya Allah, lapangkan dada ini agar bisa menerima setiap takdir yang Engkau berikan, kuatkan hamba ya Allah, bantu hamba untuk melewatinya, jangan biarkan hamba lemah" Ara memeluk erat boneka itu sambil terisak pelan, ia menangis sendirian di kamar, tidak ada yang tau betapa rapuhnya ia.
*****
Keluarga kecil Rayyan malam ini lengkap karena kehadiran Ara, Ara jarang menginap di rumahnya, Ara dan Azam sering mampir saja, namun tidak menginap. Dari tadi nasi yang ada di depan Ara tidak ia makan-makan, Ara hanya mengaduknya, sambil menatap nasi di piringnya. Karin semakin bingung dengan tingkah Ara, tidak biasanya Ara seperti itu. Karin juga sadar, mata Ara sembab dan merah.
"Sayang...kenapa gak di makan" tegur Karin sambil memegang tangan Ara. Ara mengangkat kepalanya, menatap Karin yang ada di sampingnya, "Ara kenyang Bun"
"Lah belum makan sudah kenyang?"
"Tidak nafsu" jawab Ara singkat
"Makan sedikit saja" pinta Karin
"Ara kenapa, nak?" tanya Rayyan yang juga memerhatikan Ara
"Gak papa Yah. Nah Ara makan" ucap Ara pasrah, sebenarnya ia tidak nafsu makan, tapi ia tidak ingin keluarganya memikirkan hal yang tidak-tidak tentang dirinya.
"Gitu dong" Karin tersenyum manis melihat Ara yang mau menyuap nasinya.
"Klinik gimana?" tanya Rayyan
"Seperti itulah Yah" jawab Ara. Rayyan melirik kearah Karin, ia juga merasakan ada yang berbeda pada Ara, biasnya Ara menjawab panjang, dan menatap orang yang di ajak bicara, namun kali ini pandangan mata Ara tertuju pada nasinya.
Karin meletakkan tangannya di dahi Ara, "Tidak demam kok Bang" ucap Karin
"Siapa yang demam Bun? Ara baik-baik saja"
"Siapa tau kamu demam Ra. Kalau gak enak badan segera minum obat, setelah itu langsung tidur, jangan baca novel"
"Iya Bunda, tapi Ara tidak sakit"
"Sakit atau tidak setelah makan ini langsung ke kamar, tidur, jangan nonton TV, jangan baca novel jangan main handphone, paham!"
"Siap bos" ucap Ara, namun tidak tegas. Ara kehilangan semangatnya, ia benar-benar kehilangan dirinya yang dulu.
"Nenek apa kabar ya Bun?" tanya Ara
"Nenek yang mana?"
"Nenek di Bogor, lama Ara gak jenguk Nenek"
"Ha...sadar, nanti kapan-kapan jenguk lah Nenek, Bunda sering aja nanya kabar, Nenek juga sering nelpon Bunda, nanti kalau libur kita ke rumah Nenek" ucap Karin
"Iya Bun" jawab Ara. Tiba-tiba saja ia kepikiran sang Nenek, sudah lama ia tidak bertemu Nenek nya, Ara memang cukup akrab dengan Ibu Bundanya, sedangkan Ibu Ayahnya ia tidak terlalu akrab karena jarang ke sana, padahal lebih dekat rumah Nenek Ibu ayahnya dibandingkan Neneknya yang di Bogor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Mempersatukan Kita (TAMAT)
Teen FictionDILARANG PLAGIAT! PLAGIAT MINGGIR! HARGAI KARYA ORANG JIKA KAMU INGIN DIHARGAI JIKA TERDAPAT KESAMAAN DALAM NAMA TOKOH, TEMPAT, KATA-KATA DAN ALUR ITU UNSUR TIDAK KESENGAJAAN CERITA INI MURNI DARI IMAJINASI SAYA Sequel dari Cerita TAKDIR KU MENJAD...