Dinda Pov
Malam ini kali pertama papa marah besar denganku sampai-sampai dia memukulku. Sebenarnya pukulan papa tidak terlalu sakit, tapi karena aku kaget tiba-tiba dipukul jadi aku nangis.
"assalamualaikum kak mama boleh masuk?" itu suara Bu Nayya yang sekarang sudah jadi istri papa.
Dia masuk ke kamar kemudian menutup pintunya lagi. Dia duduk disampingku sambil memegang bekas pukulan papa.
"sini mama liat, mama kompres ya biar gak bengkak" aku diam saja tak merespon.
Aku tidak suka dengan Bu Nayya entah kenapa aku juga tidak tau. Tapi aku selalu bermimpi bertemu dia dan dia meninggalkan aku dan Ninda. Mimpi itu yang buat aku jadi benci dengannya.
"tunggu disini sebentar ya" Bu Nayya keluar kamar ku, mungkin mau mengambil kompresan.
Aku turun dari ranjang menuju dapur karena aku merasa haus.
"gak seharusnya aku mukul Dinda Nay, maafin aku ya" papa lagi berbicara dengan Bu Nayya.
Bu Nayya diam saja tak menghiraukan perkataan papa, dia sibuk memasukkan es batu ke dalam kain yang sepertinya untuk mengompres tanganku.
"Nay! Tolonglah jawab aku, kamu kenapa sih diam aja. Lagian Dinda itu udah kelewatan, dia berani ngelawan kamu dan sekarang berani pulang malam. Kenapa selalu kamu bela dia" papa menaikkan oktaf bicaranya.
"aku mau tanya, Dinda anak siapa?" tanya Bu Nayya.
"anak aku" jawab papa.
"istri kamu siapa?" tanya Bu Nayya lagi.
"kamu"
"udah tau kan kenapa aku selalu bela dia, dia itu anak aku tidak ada seorang ibu manapun mau anaknya dibentak apalagi sampai dipukul" sepertinya Bu Nayya benar-benar menyayangi ku dan Ninda, dia rela ribut dengan papa untuk membela ku.
"Nay" papa memanggilnya lagi tapi tak dihiraukan.
Aku yang melihat Bu Nayya berjalan menuju luar dapur langsung berlari ke kamar agar dia tidak tau aku menguping.
Nayya Pov
Mas Rayyan hari ini benar-benar keterlaluan, dia sudah berani main tangan ke anaknya sendiri. Aku paling tidak suka melihat anak-anak dipukul.
"sini tangannya, lepas dulu ya bajunya" Dinda menurut saat aku melepaskan bajunya.
Ku kompres pelan-pelan lengannya yang sudah sedikit memerah.
"maafin mama ya gak belain Dinda tadi" Dinda tetap diam saja tak mau menjawab.
Selesai mengompres lengannya aku ke dapur lagi untuk membuang air kompresan.
"makan dulu kak ya, laper kan" Dinda mengambil piring yang aku berikan.
"sini mama suapin aja tangan kakak masih sakit" dia menurut tanpa membantahku.
Selesai menyuapi Dinda makan aku mencari Ninda yang tadi ku tinggalkan menonton tv.
"dek tidur yuk udah malem, besok mau sekolah kan" Ninda sedikit bandel tapi kalau sudah ku tatap dia akan menurut.
"tapi mama tidur barengan adek sama kakak ya" aku tersenyum dan mengangguk.
"mama tidur sama papa, mama temenin kalian sampai tidur aja terus tidur sama papa" tiba-tiba saja Mas Rayyan menimbrung.
"Ninda mau bobok sama mama" rengeknya.
"iya mama bobok sama Ninda sama kakak" aku menggandeng tangan Ninda menuju kamarnya.
Mas Rayyan nampak sedikit kesal denganku. Aku tau dia sedang menginginkannya karena sudah 1 mingguan lebih tidak.
"Nay" panggilnya.
Aku hanya menoleh tanpa niatan untuk menjawab.
"nanti anak-anak udah tidur balik ke kamar ya" aku langsung masuk kamar anak-anak tanpa menjawabnya.
"kakak tangannya kenapa? Kok merah?" Ninda memang tidak tau tadi kejadian kakak nya dipukul.
"dipukul papa" jawab Dinda.
"kok papa pukul kakak? Kakak nakal ya?" tanya Ninda lagi.
"iya aku nakal, bandel di rumah ini cuma kamu yang gak nakal makanya disayang" Dinda langsung tidur membalikkan badan.
"hei kok ngomong gitu sih nak, Dinda tu gak nakal. Tapi lain kali kalau mau pulang telat kabari mama atau papa dulu, biar kita gak khawatir" nasehatku ke Dinda.
"gak usah sok baik" jawab Dinda.
Aku terdiam saat dia mengatakan itu, bukan maksudku sok baik dengannya tapi memang aku menyayangi mereka berdua.
"udah ma tidur sini aja sama adek, gak usah peduliin kakak" Ninda menarik tanganku untuk berpindah.
Aku masih diam saja tak merespon Ninda. Tanpa terasa air mataku menetes dan buru-buru aku hapus supaya Ninda tidak melihat.
Skip kamar Rayyan
Rayyan Pov
Aku menyesal sudah memukul anak ku. Dari dulu aku belum pernah memukul salah satu dari mereka. Tapi tadi aku benar-benar khilaf, aku kecewa melihat sikap Dinda yang makin hari bukan berubah tapi malah sebaliknya.
"Nay" aku masuk ke kamar anak-anak mencari Nayya.
Nayya tidak berada di kamar anak-anak, aku mencarinya ke halaman samping tempat dia biasa duduk.
"Nay ngapain malam-malam kamu di sini?" Nayya sedang melamun duduk dipinggir kolam renang.
Aku mengangkat tubuhnya dan terasa hangat. Buru-buru aku membawanya ke kamar agar tidak masuk angin.
Aku mengompres Nayya dan mengerikannya obat untuk penurun panas. Untungnya aku selalu menstok obat-obatan di rumah, jadi jika ada yang sakit tidak terlalu panik.
Skip subuh
Pagi ini cuaca mendung dan sepertinya akan turun hujan deras. Aku memegang jidat Nayya dan panasnya sudah mulai turun tapi masih hangat.
"bangun Nay, sholat subuh dulu" Nayya membuka matanya perlahan.
Nayya tak menjawab tapi dia bangun dan masuk ke kamar mandi.
Saat keluar Nayya sudah berwudhu dan menggelar sajadahnya dan sajadahku. Aku pun bergegas untuk wudhu, agar bisa berjamaah dengannya.
Selesai wudhu aku tak menemukan Nayya di kamar. Aku keluar mencarinya, takut kalau dia ke kolam renang lagi.
"Nay kamu dimana?" Tidak ada sahutan dari Nayya.
Aku menuju kamar anak-anak siapa tau Nayya ke sana.
Benar dugaanku Nayya sedang duduk diranjang anak-anak sambil membangunkan mereka.
"Nay biar aku aja yang bangunkan, kamu siapkan aja alat sholat mereka" Nayya tidak mejawab tapi dia bergerak keluar kamar.
Aku membangunkan kedua anak ku. Untungnya mereka sudah terbiasa bangun untuk sholat jadi tidak susah membangunkannya.
Skip pagi
Selesai sholat Nayya membereskan sajadah serta mukenah dia dan anak-anak. Kemudian dia menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
"gak usah biar bibi aja" Nayya tak menjawab, dia tetap mengambil bahan-bahan masakan dari kulkas.
"Nay gak usah masak biar bibi aja!" aku sedikit menaikkan nada bicaraku. Nayya pun berhenti dan meninggalkan bahan-bahan yang sudah ia keluarkan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be A Stepmother
Short StoryMenjadi ibu sambung dari 2 orang anak yang salah satunya membenci itu tidak mudah