Hubungan ku dan Eve menjadi renggang dan dingin sejak vonis dokter hari itu. Eve tidak lagi menjadi lawan bicara yang menyenangkan untukku, walau juga tidak sepenuhnya mendiamkanku, masih mengajakku berbicara, mengingatkan ku untuk makan. Tapi berkesan tidak perduli semalam apapun aku pulang.
Urusan ranjang kami pun jadi terasa hambar, seolah – olah itu hal yang percuma untuk dilakukan.
Aku paham, wanita mana yang tidak kecewa, bersuamikan laki – laki yang tidak sanggup membuahinya. Membutuhkan serangkaian therapy, untuk mengembalikan kondisi fertilitas ku. Dan mungkin, tidak semua wanita, bersedia menunggu sampai semuanya teratasi. Seketika aku merasa, Barra memang one lucky guy, karena Kanaya bersedia mendampingi nya sampai akhirnya semuanya teratasi.
Aku terlalu takut untuk menanyakan isi hati Eve. Aku takut mendengar kebenaran, kalau dia kecewa denganku. Walau aku sudah bisa mengira, pasti dia kecewa menikah denganku. Membayangkan seumur hidupnya, dia tidak akan memiliki anak satu pun.
Aku memutuskan untuk memberinya ruang untuk berpikir.
****
Hari demi hari, minggu ke minggu, sampai tidak terasa sudah menginjak 3 bulan kami semakin dingin dan menjauh. Bahkan dari info yang kudapat lewat para ART dirumah, Eve pulang semakin larut. Aku tidak bisa menyalahkan, aku pun pulang semakin larut.
Kami semakin jarang berhubungan suami istri. Bukan aku tidak mau, sungguh aku manusia biasa, dengan segala hasrat biologisnya. Tapi aku segan untuk mengajaknya. Tapi, aku juga masih sadar, untuk tidak mencari perempuan diluaran sana, untuk membantuku menyalurkan hasrat ku. aku tidak mau menambah masalah didalam rumah tanggaku.
"itu masih curable Yan, jalanin aja therapy nya, yang penting disiplin, habis itu coba IVF, atau inseminasi buatan dulu deh, kalau kalian merasa IVF terlalu big jump"
Aku, Barra dan Ale sedang makan siang bertiga disekitaran kantor. Sengaja sedikit menjauh dari kantor, agar aku bisa punya ruang untuk berbicara dengan kedua sepupu ku ini.
"gue gak yakin, Evelyne mau coba IVF atau Insem, waktu kita balik lagi ke dokter, untuk nanyain jenis therapy yang harus gue jalanin. Dokter juga udah jelasin dua alternatif itu, dan Eve sama sekali gak berminat" jawabku
"dia ngomong terang – terangan gitu gak mau?" Ale, satu – satunya yang masih single diantara kami, akhirnya buka suara juga.
"gak terang – terangan, cuma yaaa, lo bisa nilai dari ekspresi wajahnya lah. Untuk ukuran seorang dokter, tampak gak antusias, cenderung dingin gitu lah"
Barra dan Ale pun mengangguk paham.
"so.. lo bakalan biarin ini kayak gini terus? Gak ada pembicaraan apa – apa diantara kalian? Menggantung aja gini diantara kalian?"
Barra, sebagai yang paling berpengalaman untuk urusan rumah tangga, dan segala kekacauannya, kembali membuka suara.
"better lo ajak dia bicara, biar clear"... "ya, emang sih, kita sebagai yang bersalah, kudu siap dengan apapun yang bakal dia bilang. Gue juga dulu, udah kaya nunggu di sembelih nunggu respon Naya. Tapi jangan suudzon dulu lah, mungkin Eve menjauh, karena justru gak enak sama lo"
Semenjak makan siang kami bertiga itu, aku mencoba mempertimbangkan kata – kata Barra. mengajak Eve berbicara, lebih baik aku tahu isi hatinya kan? Dari pada hanya menduga – duga seperti ini.
Belakangan juga Eve selalu berangkat dan pulang sendiri, setiap dia praktik di hari sabtu. Selalu mencari beribu alasan untuk ku antar jemput.
Begitupun dengan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
chasing you back ( where are you Zara?)
RomanceWarning! Adult content 21+ Penyesalan selalu datang terlambat. Sesuatu yang berharga, baru akan terasa ketika sudah kehilangan. Bagaimana cara mendapatkannya kembali? Adrian Kamil Nasution : Dosaku ke Zara terlalu besar, bahkan mungkin tidak termaaf...