PART 42

5.3K 628 17
                                    

Zara,

Aku terus teringat kalimat mbak Kanaya, 'suami – suami kita'. Aku sulit sekali mengusir kalimat itu dari ingatanku. Ada sebentuk rasa menginginkan kata – kata itu menjadi kenyataan.

Aku berusaha mengusir ingatan itu, aku harus tetap fokus pada Gavin. Gavin pasangan ku saat ini, aku harus bersikap adil padanya. Terlebih Gavin sudah meminta maaf padaku, atas kekhilafan kami waktu itu. Dia sekarang berusaha untuk lebih hati – hati setiap bertemu denganku. Dia berusaha lebih menghormatiku. Dia mencintaiku, ya Gavin mencintaiku.

'cewe kayak Zara itu harusnya di sayang – sayang, jagain, lindungin, rayu, manjain'

Arrgghh... kenapa mbak Kanaya harus membocorkan semua pembicaraannya dengan bang Adrian? Kenapa aku harus tahu semua itu. Belakangan ini pun, aku mulai merasakan pergeseran perasaanku dari Gavin ke bang Adrian, dan itu menyiksa. Bang Adrian bahkan tidak pernah mengatakannya didepan wajahku, kalau dia mencintaiku, menginginkanku. Dia hanya ingin menebus kesalahannya, titik.

Akan sangat menyakitkan bagiku, kalau aku terus membiarkan perasaanku semakin condong ke bang Adrian. Pelukannya yang hangat, genggaman tangannya yang menyelimuti seluruh tanganku dan tatapannya yang membuatku ikut lenyap didalam tatapannya. Semua itu terlalu indah untuk ku harapkan. Karena hanya sampai disitu saja lah, bang Adrian bertindak. Tidak akan lebih jauh. Dan semua gesture itu, tak lebih hanya untuk membangun suasana nyaman diantara kami, dalam membesarkan Arsya bersama.

Aku mendengar deru suara mobil datang, aku tahu mobil siapa itu. Tugas mengantar sekolah memang sudah berpindah ke tangan bang Adrian, kecuali jika dia dinas keluar kota. Dan entah kenapa, jantungku rasanya seperti melompat – lompat, aku melihat ke arah cermin tinggi di lemari pakaian Arsya, mematut diriku, apakah ada yang kulewatkan? Apakah penampilanku menarik?

Arsya masih merajuk, dia tidak mau memakai kaos kaki yang ku pilihkan, dia bersikukuh dengan kaos kaki nya yang belum kering. Kemarin seharian hujan, jadi jemuran tidak ada yang kering. Tidak lazim menggunakan mesin pengering di Indonesia, dia tentunya tidak paham itu. Disini hanya menggunakan mesin pemeras lalu mengandalkan sinar matahari untuk menjemur, dan kemarin tidak ada sinar matahari yang terik seharian penuh.

"Arsya you'll be late... please be hurry..."

"I don't want that socks mommy, I want the other one..." rajuknya sambil menghentakan kaki, lalu duduk bersila di lantai. Aku menghela napasku resah.

Aku akhirnya turun, bermaksud memberi tahu bang Adrian agar menunggu sebentar, ternyata belum ada yang membukakan pintu. Aku memutar kunci pintu depan dan membukanya, seketika pandanganku terkunci, aku terpesona. Bang Adrian hampir selalu menggunakan setelan jas ketika bekerja, tapi kadang juga dia hanya menggunakan kemeja lengan panjang dipadu dengan celana bahan dan kain.

Dan hari ini, dia mengenakan setelan jas berwarna navy, dipadu dengan kemeja putih dan dasi yang senada dengan warna jasnya dengan corak putih dipermukaannya. Sepertinya dia juga baru bercukur merapihkan rambutnya yang hampir tidak pernah di pakaikan produk penata rambut, dan jenggot yang menyatu dengan cambang yang sangat rapih menambah ketegasan rahangnya. Dia tersenyum padaku "Assalamualaikum.."

"w...walaikumsalam... masuk bang" entah kenapa aku menjadi salah tingkah. Soal ketampanan bang Adrian, sedari awal berjumpa dengannya aku sudah menyadarinya, betapa wajah nya terutama tatapan matanya itu, mampu membuat ku tersesat didalamnya. Dan kini, aku merasakan ketersesatan itu lagi, ketika tatapan mata kami beradu.

"mana Arsya?" tanyanya sambil melempar pandangan ke penjuru ruangan, tidak melihat keberadaan Arsya. biasanya Arsya sudah akan duduk manis di ruang keluarga, menunggu daddy nya menjemput. Aku menghela napas ku lelah, bang Adrian mengerutkan alisnya menatapku.

chasing you back ( where are you Zara?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang