Zara,
Aku harus siap menghadapi mami, untuk menjelaskan perihal bang Ian yang tiba – tiba hadir diantara kami. mami sangat, sangat, sangat membenci bang Ian. Aku waktu itu memang terlalu kalut, sehingga keceplosan menceritakan perihal bang Ian meminta ku menggugurkan kandungan. Bagaimana aku tidak kalut, aku tinggal di sebuah negara yang melegalkan aborsi, jadi permintaan bang Ian adalah sesuatu yang wajar disana. Abortion on demand is legal in Netherland, sebaris kalimat yang cukup membuat darah di sekujur tubuhku membeku, ketika aku googling perihal aturan aborsi di negara itu.
Masih tidak yakin dengan maksud abortion on demand, aku melanjutkan untuk melanjutkan pencarian, untuk meyakinkan maksud dan artinya, yang ternyata adalah the right of a woman to have an abortion during the first six months of a pregnancy. an abortion performed on a woman solely at her own request. Kala itu, bersamaan dengan dering telepon yang menampilkan nama ban Ian pada layarnya, aku menangis histeris, membayangkan bang Ian akan membawa ku kesebuah klinik untuk menggugurkan kandunganku. Dan aku yakin, bang Ian sebagai mahasiswa jurusan hukum, paham betul kondisi hukum di negara ini. makanya, keinginan itu tercetus dengan mudahnya dari mulutnya.
Tapi apa katanya? Dia mencariku setiap hari, sampai hari kepulangannya tidak bisa di tawar lagi? Untuk apa?
Aku turun menjumpai mami yang sedang menemani Arsya sarapan.
"good morning mommy..." ucapnya ceria, sedari bangun tadi Arsya memang tempak ceria, seperti baru mendapatkan dopping. Dia tidur pulas sekali, dengan senyuman terukir jelas diwajahnya, serindu itu dia akan kehadiran seorang ayah. Aku bahkan terkejut, ternyata kehadiran Gavin tidak cukup mengisi relung kosong di hati Arsya. Gavin memang pria yang baik, selalu siap membantuku untuk urusan Arsya, tapi memang dia bukan father figure sepenuhnya. Bagaimanapun Gavin pria lajang, masih muda, belum pernah menikah, apalagi punya anak. Dia pun masih berusaha belajar, menjadi sosok ayah. Tapi penerimaannya pada Arsya, sangat ku hargai, tidak pernah sekalipun menatap Arsya atau diriku seperti pesakitan yang menjijikan. Dia menerima kami dengan tulus dan ikhlas. Itu sudah cukup bagiku. Tapi ternyata tidak bagi Arsya, dia masih ingin seorang 'daddy' dalam hidupnya.
Aku kira, dengan tidak pernah merasakan memiliki sosok 'daddy' dalam hidupnya, akan memudahkan Arsya menerima sosok laki – laki dewasa, yang akan berperan sebagai seorang ayah di hidupnya. Ternyata, dia juga memiliki ekspekatasi tersendiri. Dia sempat bercerita, uncle Gavin keep on the phone while driving, walau ketika ku tanya Gavin menggunakan blue tooth headset. Ternyata Arsya berharap mereka bisa berbincang sepanjang perjalanan ke sekolah, Arsya bisa mengajaknya menyanyikan lagu – lagu yang dia pelajari di kindergarten nya.
Arsya termasuk anak dengan kecerdasan diatas rata – rata. Guru – guru di sekolahnya pun selalu mengatakan hal yang sama. Sesuatu yang membanggakan, sekaligus harus menjadi perhatian khusus ku, karena Arsya terkadang berpikiran lebih dalam dan kritis dibanding anak – anak seusianya.
Dan semua ekspektasi Arsya, sepertinya dia dapatkan dari bang Ian, dalam kurun waktu beberapa minggu kebersamaan mereka ini. aku akui, bang Ian selalu menyimpan ponselnya jauh – jauh ketika bersama Arsya. Selalu mengikuti permainan yang Arsya mau, jika Arsya ingin main lego maka dia akan main lego, jika Arsya sedang ingin kegiatan fisik maka dia juga akan lakukan. Bahkan aku sempat mencari – cari mereka, ternyata bang Ian sedang mengajaknya bermain bola di taman belakang, di sore hari ketika dia baru sampai. Pernah juga aku mendapati bang Ian nurut, diajari lagu – lagu kindergarten oleh Arsya.
"Arsya biar diantar mang Dirman aja, mami mau bicara dulu sama kamu" titah mami, mang Dirman adalah orang kepercayaan mami, terkadang dia mengurus kebun di rumah Rempoa, terkadang dia juga menyetir mobil mami. Aku menghelap napasku lelah, pada akhirnya semua memang akan rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
chasing you back ( where are you Zara?)
RomanceWarning! Adult content 21+ Penyesalan selalu datang terlambat. Sesuatu yang berharga, baru akan terasa ketika sudah kehilangan. Bagaimana cara mendapatkannya kembali? Adrian Kamil Nasution : Dosaku ke Zara terlalu besar, bahkan mungkin tidak termaaf...