Zara,
Jangan ditanya, bagaimana reaksi Gavin atas undangan bang Adrian. Bahkan dia tidak perlu menunggu, sampai kami tiba dirumah dan bisa mendapatkan ruang privacy untuk membahasnya, ralat, memperdebatkannya. Bahkan dia berbicara tinggi didepan Arsya, yang sedang duduk menonton serial kartun kesukaannya.
"okay... jadi kalian, mau family time, dan invite aku? Ini maksudnya apa? kamu mulai berani melecehkan aku Zara?" Gavin berbicara sambil tangan kanannya di pinggang dan tangan kirinya mengusap kasar tengkuknya, napasnya begitu kasar, dadanya tampak naik turun dengan berat. Dia menahan segala emosi.
"kami mau family time. Statement kamu gak salah. Itu benar. Aku gak akan nyangkal itu. What kind of family? We're kind of family! Sebuah keluarga yang gak pernah jadi satu, dan makan korban seorang anak 5 tahun yang... desperately dreaming of a real family" aku menjawab Gavin, dengan nada bicara yang lebih ku tahan, karena aku tidak ingin Arsya mencium pertengkaran diantara kami. selama kami menjalankan hubungan, kami tidak pernah bertengkar didepan Arsya. itu pantang bagi kami.
"dia mau real family?... fine kasih dong dia real family" ucapnya dengan nada mengejek, aku tersentak dengan ucapannya, yang berkesan melecehkan ku.
"maksud kamu apa, Gavin?" aku menjeda, mengatur napasku yang sudah ingin membuatku berteriak kencang "aku sadar, aku udah gagal jadi orang tua, bahkan ngasih dia ayah yang baik aja aku gak bisa. Terima kasih buat kamu, yang selama ini udah bersedia nampung kami berdua" sinisku. Gavin memandangku dengan sorot mata yang tajam.
"kamu tahu, gak ada satupun laki – laki, dimuka bumi ini, yang bersedia memperistri perempuan seperti aku. Yang artinya, aku gak pernah bisa mewujudkan impian Arsya, untuk bisa tinggal satu atap, dengan seseorang yang bisa dia panggil mommy and daddy. kamu tahu itu, Vin. Kamu sangat tahu itu!" air mataku mengalir begitu saja, aku mengusapnya kasar dengan jemariku, aku mengalihkan pandanganku dari Gavin. Aku tidak sudi menangis didepannya. Tidak untuk dia yang sudah merendahkan ku.
"aku.. Zara... aku... laki – laki yang bersedia nikahin kamu. tapi, sekarang kamu malah kasih kesempatan untuk laki – laki lain, masuk ke kehidupan kamu!!" ucap Gavin dengan mendesis kesal.
"dan keluarga kamu? gimana dengan keluarga kamu? mereka nolak aku Gavin!!! Kapan keluarga kamu, pernah bersikap baik sama aku? Kapan mereka bisa ketemu aku? Kapan mereka nyambut aku? Gak pernah kan?" balasku ketus.
"ooh... jadi karena ini, kamu lempar diri kamu ke Adrian?" sinisnya, dia melipat kedua tangannya di dada, memandangku dengan tatapan., seolah – olah dia jijik melihatku.
"jaga bicara kamu Gavin!!! Bang Adrian datang ke kami, sebagai ayahnya Arsya, kami hanya berusaha, sebisa kami, semampu kami, untuk mewujudkan impian Arsya!!"
"termasuk kasih kamu uang?" ucapnya dengan enteng, tanpa ada raut wajah penyesalan sudah mengucapkan itu. Mataku terbelalak mendengar ucapannya.
"how dare you saying that to me" desisku "aku yakin, jauh didalam otak kamu, kamu sadar uang itu sebagai apa dan buat siapa. Kamu tahu, selama ini aku juga gak pernah kesulitan finansial. Dan aku yakin, kamu juga tahu kenapa bang Adrian ngelakuin semua ini" aku menatapnya tajam, kemarahan sudah menguasai ku sepenuhnya. Arsya mulai memperhatikan pertengkaran kami.
"you should Grow up Gavin" ucapku sambil berlalu, ingin merapihkan tasku dan segera pulang kerumah. Aku lelah menghadapi Gavin.
"you, Grow Up Zara!!!" bentaknya padaku. Arsya berlari menghampiriku, memeluk kaki ku.
"mommy... I wanna go home" ucapnya lirih, aku berjongkok dan mengusap lembut kepalanya "we're going home now sweetheart... we're going home".
KAMU SEDANG MEMBACA
chasing you back ( where are you Zara?)
RomanceWarning! Adult content 21+ Penyesalan selalu datang terlambat. Sesuatu yang berharga, baru akan terasa ketika sudah kehilangan. Bagaimana cara mendapatkannya kembali? Adrian Kamil Nasution : Dosaku ke Zara terlalu besar, bahkan mungkin tidak termaaf...