Zara,
Sejak kejadian hari itu, aku terus merenungi apa yang harus ku lakukan sekarang ini. Sepertinya memang sebuah pernikahan, tidak akan membawa kebahagiaan untukku, maupun Arsya, sepertinya kata itu tidak akan pernah cocok dengan garis kehidupanku. aku bisa saja dengan serakah dan egois, memaksakan agar pernikahan tetap di laksanakan. Tapi aku sadar, bagaimanapun Gavin adalah anak satu – satunya, dan dia sangat dekat dengan kedua orang tuanya. Aku juga tidak rela, melihat Gavin kehilangan orang tuanya, hanya demi aku, yang belum tentu juga bisa membahagiakannya, dengan hatiku yang kini terbelah ini.
Dan aku sadar, tidak mungkin menempatkan Gavin di antara kami ber tiga selamanya. Pernikahan ini, tidak hanya untuk membahagiakanku, tapi juga Arsya dan Gavin. Bagaimana pernikahan akan berjalan bahagia, kalau saat ini yang kuhadapi adalah Arsya yang pemurung cenderung pemarah, dan Gavin yang aku tahu, diam – diam dia membungkus rapih semua masalahnya dariku. Dia selalu bersikap 'pura – pura' optimis, padahal aku tahu, dia sendiri dirundung rasa takut yang amat sangat. Anak mana yang tidak takut kalau harus membayangkan hubungannya dengan orang tuanya, yang semula baik – baik saja, menjadi merenggang?
Aku hanya berlagak polos dan bodoh, seolah aku percaya semua baik – baik saja. tapi aku tahu dari sorot mata Gavin, kalau tidak ada yang baik – baik saja dalam hubungan kami yang sudah berjalan 4 tahun ini. aku tidak tahu persis apa yang orang tuanya katakan padanya, yang jelas, aku yakin ada sesuatu yang mereka bicarakan. Yang pastinya berkaitan dengan rencana pernikana kami. yang pastinya berkaitan dengan restu mereka, yang tidak akan pernah ada. Bodohnya, kami sebenarnya menyadari ini sudah sejak lama, tapi kami memilih menutup mata dan berusaha yakin, semua akan berubah seiring jalannya waktu.
Gavin tampak sering melamun ketika kami bersama, pandangannya menerawang, dan ku yakin pikirannya berkelana kemana - mana. Tersenyum terlalu lama sambil menatapku, yang dulu kupikir adalah sesuatu yang romantis. Tapi kini aku sadari, kalau itu pertanda orang yang ada di hadapanku ini, punya segudang kalimat yang ingin dia sampaikan padaku, tapi tidak tahu bagaimana caranya, atau dia tidak sanggup mengutarakannya karena terlalu menyakitkan. Padahal aku tahu alasan orang tua Gavin tidak akan pernah menerimaku.
Bagaimana dengan Arsya? dia benar – benar berubah menjadi kepribadian yang lain, Arsya ku sudah menghilang perlahan - lahan. belum satu bulan dia bersekolah di sekolah yang baru, aku sudah tiga kali di hubungi oleh pihak sekolah. Bukan karena suatu hal yang membuatku tersenyum, tapi lebih karena mereka ingin menanyakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi dirumah, apakah Arsya memiliki masalah dirumah? Apakah hari – harinya baik – baik saja? apakah aku memiliki masalah? Kurang lebih itu lah yang mereka tanyakan.
Karena belakangan ini Arsya berubah menjadi anak yang pemarah, suka menyerang teman – temannya yang tidak sengaja mengganggunya. Bahkan kadang tertangkap gurunya, Arsya sedang melamun di taman bermain. Setiap kali dia didatangi oleh salah seorang guru di sekolah dan diajak berbicara, Arsya selalu menyinggung nama daddynya, dia merindukan daddynya, dia menunggu daddy nya datang.
Dia juga menjadi tidak mau menurut kepadaku, suka membantah, melempar mainannya ke sembarang arah kalau marah, berteriak kalau merasa kesal atau kesulitan dan menangis histeris. Pernah suatu hari, aku mencoba membawanya berjalan – jalan ke city, aku berencana untuk membawanya ke target dan membiarkannya memilih mainan yang dia suka. Dan berujung dia malah menangis tantrum, bahkan aku sampai menjadi tontonan orang – orang, karena Arsya menangis sampai berguling di lantai, hanya karena permintaannya yang tidak bisa kupenuhi saat itu. Dia meminta mainan pedang – pedangan yang tidak sengaja dia lihat iklannya di televisi, dan aku masih bertahan untuk tidak memberikan Arsya mainan berupa senjata, entah itu berbentuk pistol, senapan, pedang atau apapun yang bisa di asosiasikan dengan benda kekerasan.
"heey.... babe" sapa Gavin sambil mengecup sekilas pipiku. Aku memang berjanjian dengannya hari ini, aku sudah lama menunggu di salah satu cafe di London Court ini. dia baru selesai bekerja, dan aku juga menitipkan toko pada Jes. Arsya sendiri dirumah bersama tante Sarrah dan om Hendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
chasing you back ( where are you Zara?)
RomanceWarning! Adult content 21+ Penyesalan selalu datang terlambat. Sesuatu yang berharga, baru akan terasa ketika sudah kehilangan. Bagaimana cara mendapatkannya kembali? Adrian Kamil Nasution : Dosaku ke Zara terlalu besar, bahkan mungkin tidak termaaf...