PART 44

5.5K 678 11
                                    

Zara,

"jadi sekarang Arsya harus di rawat?" tanya suara diseberang sana padaku, aku memang baru mengabari Gavin soal keadaan Arsya. orang pertama yang ada di pikiranku ketika Arsya dikabarkan demam tinggi adalah, bang Adrian.

Aku tidak bisa menjelaskan kenapa, mungkin karena secara logika dia adalah ayahnya, atau bisa jadi, itu salah satu bentuk tindakan impulsif ku juga untuk mencari dirinya. Karena aku merasa, bersama bang Adrian semuanya akan aman dan baik – baik saja.

"Adrian sudah tahu?" tanyanya lagi, setelah aku menjelaskan bahwa Arsya harus dirawat di rumah sakit.

"iya, he's here already" jawabku, aku sekarang sedang berada di kafetaria rumah sakit, memesan beberapa porsi makanan untuk ku dan bang Adrian, juga kopi untuk bang Adrian. Dia terlihat lelah sekali, setelah mengejar last flight dan harus tidur meringkuk semalaman menemani Arsya.

"he's there already, dan aku baru kamu kabarin sekarang, means semalaman kalian berdua'an dan aku gak tahu? I've been tryng to call you since last night, dan kamu gak angkat telepon kamu Zara" desis nya marah, dia masih di salah satu kota di Kalimantan, meninjau site yang akan di explorasi dengan menggunakan jasa perusahaannya.

"Gavin... aku kemarin gak bisa berpikir harus berbuat apa, selain bawa Arsya ke UGD segera, sampe rumah sakit dia meronta gak karuan panggil – panggil daddy nya, menurut kamu, aku harus gimana? Insist gak telepon daddynya?" aku masih duduk di kursi paling pojok, menunggu pesananku untuk diantar. Gavin menghela napasnya kesal.

"aku yakin, as soon as kamu terima kabar Arsya demam, kamu langsung hubungi Adrian. So he's the first person' popped out in your mind, kalau ada apa – apa" ucapnya dingin, aku rasanya ingin sekali menyiram wajahnya dengan secangkir teh panas didepanku ini.

"please stop this Gavin" lirihku, aku berusaha menahan emosiku sekuat tenaga. Disaat seperti ini, kenapa orang – orang masih ber fokus pada Adrian dan Adrian. Gak ada yang berpikir, kalau aku sekarang sedang dalam kondisi yang tidak baik. Anakku masih balita dan terserang penyakit yang tergolong berbahaya.

"why Zara? Kenapa bukan aku yang pertama muncul di kepala kamu, untuk kamu cari waktu kamu susah?" ucapnya dengan penuh tekanan emosi. Aku memejamkan mataku, berusaha untuk tidak berteriak di kafetaria ini.

"kalau aku telepon kamu langsung kemarin, will you fly back home and see me? Nggak kan? dan kalau kamu lupa, Arsya itu anak yang lahir dari rahimku, atas sumbangan benih dari Adrian!!! Puas kamu sama jawaban aku? Aku berharap sekarang aku telepon kamu, dan kamu bisa membuat aku nyaman dan tenang, bukannya malah sibuk mikirin hal yang gak perlu dan gak masuk akal kayak gini. kalau kamu takut aku tidur peluk – pelukan sama bang Adrian semalaman, perlu kamu ingat ANAK AKU sekali lagi ANAK AKU, dirawatnya di RUMAH SAKIT bukan di HOTEL" aku melempar rentetan kalimat itu, dengan menekankan kata ANAK AKU, RUMAH SAKIT DAN HOTEL, untuk memperjelas, kalau kecemburuan dia mulai tidak masuk akal, dan tidak pada tempatnya.

Aku menutup panggilan telepon tanpa mengucapkan salam apapun, sesegera pelayan meletakan pesananku, aku langsung beranjak kembali ke kamar Arsya. bang Adrian mengambil cuti untuk 4 hari kedepan, dan dia bilang sisanya dia akan bekerja remote.

Aku masuk kedalam kamar, dan mendapati bang Adrian sedang duduk bersila diatas tempat tidur Arsya, berhadapan dengan Arsya yang duduk bersila juga sambil bersandar tumpukan bantal, sandaran brankar sudah sedikit di tegakan. Mereka bermain adu robot – robotan, seingat ku aku tidak membawa mainan apapun kemarin.

Bang Adrian menoleh padaku, gurat wajahnya lelah sekali, Arsya pun terlihat kuyu melawan demam tinggi seharian, sekarang pun suhu nya masih diatas 37.8, dan sesekali akan naik demamnya kembali menyentuh angka 38.5, walau tidak sampai 40 seperti kemarin.

chasing you back ( where are you Zara?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang