PART 10

8.9K 867 12
                                    

Boleh menemuinya, tapi tidak membahas satu kalimat pun tentang siapa aku, dihadapan darah dagingku sendiri. Adakah hal lain yang lebih perih dari ini? saat ini aku merasa, ini adalah level terpedih dalam hidupku. Bahkan ini jauh lebih menyesakan dari ketika aku mengetahui Eve berselingkuh.

Aku menghela napasku kesal, aku ingin sekali berteriak kalau aku adalah daddy nya. Aku bahkan penasaran, apa yang dikatakan Zara tentan keberadaan daddy nya? Apakah dia bilang aku sudah mati?

"kenapa lagi lo?" aku bahkan tida menyadari, kalau Barra memasuki ruanganku, dan sudah duduk dihadapanku. Aku kembali menghela napas kesal.

"Zara?" tebaknya, aku mengangguk. "kenapa dia?"

Aku menyugar rambutku kasar, "dia larang gue untuk bilang ke Arsya, kalau gue bapaknya. Rasanya kayaknya mending gue mati aja"

Barra tertawa pelan, lalu menggeleng "Yan...Yan... terus lo ngarep apa? Zara nangis bahagia liat muka lo? Lari kepelukan lo? Terus nyodorin Arsya ke lo, 'ini bang ini anak kita' gitu?"

Aku menatap kesal kearah Barra, dia mencebik kesal "gak usah ngambek gitu. Gak pantes lo" ucapnya dengan wajah mengejek.

"gini ya, Yan... lo hanya gak boleh ngaku lo itu bapaknya kan?" aku mengangguk malas.

"masih boleh nemuin?" aku mengangguk lagi.

"so...? masalahnya dimana?" Barra menatapku beberapa saat, menunggu respon yang tak kunjung kuberikan. Masalahnya dimana? Masalahnya aku memang bapaknya, kenapa aku gak boleh mengaku pada anakku sendiri?

"lo pikir deh Yan, lo gak ada di sisi dia selama berapa lama? 6 tahun lo Yan. Lo bisa bayangin gak, apa aja yang udah dia laluin selama 6 tahun tanpa lo? Sekarang lo mau maksain kehadiran lo? Lo mau dia sukarela nerima kehadiran lo, sebagai bapaknya si anak? Kalau Zara rela kayak gitu di perjumpaan pertama kalian, gue yakin Zara memenangan nobel perdamaian" ucapnya sambil tertawa seolah – olah itu sesuatu yang lucu.

"Yan... lo baru berapa lama ketemu mereka lagi? Sebulan aja belum. Lo udah ngarepin macem – macem. Bagus Zara masih kasih lo ketemu anak lo. Nikmatin aja itu dulu Yan" Barra menjeda ucapannya "biarin dia ngeproses semua kejadian ini lagi, biarin dia juga menyesuaikan diri dengan kemunculan lo lagi. Dia juga pasti gak expect lo tiba – tiba muncul dan nemuin dia yang ternyata, gak pernah, menggugurkan kandungannya."

Aku merenungi kata – kata Barra " jadi maksud lo, emang udah ini aja yang boleh gue dapet, Bar?"

Dia menggeleng "no.. gue gak bilang gitu. Gue cuma minta, sementara ini, turutin semua maunya Zara. Tunjukin kalau lo tahu diri dan patuh dulu sama kondisi. Kedepannya gimana, ya lo lihat lagi nanti itu. You can't tell the future, kan?"

****

Meresapi kata – kata Barra, aku harus patuh dan TAHU DIRI dengan kondisi ini. Barra benar – benar menggaris bawahi kata TAHU DIRI, pada perbincangan kami pagi tadi. Ya, Barra benar, sudah sepatutnya aku tidak banyak menuntut untuk ini dan itu dari Zara.

6 tahun, melalui masa kehamilan dan mengurus anak seorang diri, tanpa suami, tanpa status legalitas yang jelas. Tentunya bukan hari – hari yang mudah bagi Zara. Bahkan mungkin dia sudah menelan berbagai macam cemoohan orang – orang.

Kalau aku tidak salah ingat, salah satu staf perusahaan papanya, mengatakan, Zara selama ini di Australia. Mungkin itu salah satu caranya melarikan diri, dari penghakiman sosial di sini. Kondisi seperti Zara, bukanlah suatu kondisi yang bisa diterima oleh masyarakat timur seperti ini.

"Me : Ra, abang boleh nengok Arsya?"

Aku mengirimkan pesan pada Zara. Aku tentunya tidak bisa main selonong saja menengok Arsya, harus atas seizin Zara.

chasing you back ( where are you Zara?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang