PART 26

6K 731 4
                                    


Adrian,

Seperti yang sudah dijanjikan, aku selalu melakukan video call dengan Arsya menjelang dia tidur. Aku masih belum bisa menemuinya, karena aku tidak mau dia tertular flu ku yang lumayan berat ini. aku jarang sakit, tapi sekalinya sakit memang biasanya ambruk. Aku masih dirumah mama, mama beberapa kali ikut nimbrung di video call, mama sudah jatuh cinta pada Arsya.

"dia kamu banget waktu kecil, bang" ucap mama setiap kali melihat wajah Arsya. Mama memang belum berkenalan dengan Zara. Aku belum membicarakan masalah pertemuan. Aku tidak mau membuat suasana semakin kacau balau.

Aku menyempatkan untuk menelpon Zara disaat dia sedang sendirian di cafe. Aku memastikan terlebih dulu, kalau Gavin sedang tidak bersamanya.

"hallo, Ra.." aku masih dengan suara serak – serak bindeng, ingus masih terdengar sentrut – sentrut sesekali. Aku bahkan hari ini izin tidak masuk kantor.

"iya bang... abang masih sakit?" tanyanya dengan suara yang lembut sekali, aku tersenyum menikmati alunan suara lembutnya ditelingaku. Aku kangen.

"masih, hari ini abang izin gak kekantor. Arsya gimana?" tanyaku sambil sesekali batuk, ini aku batuk sungguhan, bukan mau cari perhatian.

"Arsya, agak murung sih. Tapi masih bisa dikasih tahu kok. Ya dari pada ketularan juga kan" jawabnya, nada bicara Zara sekarang sudah lebih melunak, sudah lebih bisa ku ajak ngobrol. Aku berharap semua ini akan berarah, dimana aku dan Zara benar – benar bisa saling membagi tugas untuk mengasuh Arsya. Aku bahkan sama sekali tidak keberatan di titipi Arsya kapan saja, hari kerja sekalipun. Aku juga berharap, secepatnya, aku bisa dengan leluasa mengakui diriku ayahnya. Walau mungkin sekarang, secara tidak langsung, aku dan Arsya sudah saling mengakui status ku sebagai ayah.

"Good boy, nanti pulang sekolah video call sebentar boleh? Biar dia happy, abang bingung, mau kirimin dia apa, dia sehari – hari di cafe kamu, isinya makanan enak semua" aku terkekeh, Zara pun tertawa pelan.

"Ra.. boleh abang tanya sesuatu?" tanyaku pada Zara,

"soal apa, bang?" sahutnya.

"soal jadwal ketemu abang sama Arsya. Selama ada Gavin disini, bagaimana?" semoga dia tidak menjawab, kalau aku tidak usah bertemu dulu sampai Gavin pulang. Dan kapankah Gavin akan pulang masalahnya? Aku tidak tahu, berapa lama dia akan berada disini.

"hmm.... yah, Gavin sudah aku kasih pengertian bang, cuma masalahnya dia keberatan, kalau abang main sama Arsya di dalam ruangan kantorku" jawabnya dengan nada bersalah, aku tahu, aku pun kalau jadi Gavin, tidak akan nyaman, melihat calon istriku, berada dalam satu ruangan, intens, bersama mantan kekasihnya, walau ada seorang anak disitu.

"tapi, kamu sendiri masalah gak Ra? Kalau abang ketemu Arsya, selama ada Gavin?" tanyaku lagi, aku butuh kesediaan dari Zara. Aku jujur, tidak terlalu perduli pendapat Gavin, karena bagaimanapun, aku ayahnya Arsya, sepatutnya dia tidak melarangku bertemu anakku.

"Aku gak keberatan bang, cuma caranya bagaimana, itu yang jadi masalah"

Kami hening sejenak, aku berpikir, apakah Zara setuju dengan ideku atau justru akan mengamuk?

"Ra, gimana kalau" aku ragu sejenak untuk mengucapkannya "gimana kalau, abang tiap hari antar Arsya sekolah, terus nanti pulangnya baru ke cafe kamu? soal jemput, kamu pilih, kamu atau abang yang jemput. Kalau abang sedang gak bisa jemput, ada supir orang tua abang bisa jemput"

"terus..." aku menjeda sejenak "kalau weekend, boleh gak, Arsya nginap tempat abang, semalam aja" ... "yah, hitung – hitung, kamu juga bisa berduaan sama Gavin?"

chasing you back ( where are you Zara?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang