Adrian,
Waktu terus bergulir tak terasa, Arsya masih tetap banyak menghabiskan waktu bersamaku. Dia masih menghindari Gavin, walau tidak separah dulu. Gavin menurut untuk tidak memaksa Arsya memanggilnya papi. Mami nya Zara pun berhenti memaksa Arsya untuk memanggil Gavin papi.
Aku juga akhir – akhir ini sibuk, sehingga Arsya sering berusaha aku bujuk untuk pulang ke mommy nya. Walau harus melalui drama, akhirnya berhasil juga. Karena aku tidak mungkin terus – terusan membawanya perjalanan dinas keluar kota. Mama ku juga tidak setiap saat bisa ku mintai tolong, untuk ikut ke luar kota dan menjaga Arsya.
Satu hal yang aku tidak tahu, ketika aku akan membayarkan biaya sekolah Arsya. aku mendapatkan pemberitahuan, bahwa Arsya tidak meneruskan sekolahnya di semester berikutnya. Dikatakan alasan tidak meneruskan adalah, Arsya akan pindah. Aku mengerutkan keningnku bingung, aku mendapatkan informasi ini, ketika aku menelpon ke sekolah, untuk menanyakan biaya pendaftaran ulang sekolah untuk tahun ajaran mendatang.
"kenapa Arsya gak kamu lanjutin di situ sekolahnya?" tanyaku pada Zara lewat sambungan telepon, saat ini aku sedang dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Aku memakai supir, aku terlalu lelah mengemudi.
"karena memang Arsya gak akan disitu lagi bang" ucapnya menggantung. Aku merasa dia menutupi sesuatu.
"maksud kamu pindah sekolah? Kemana?" tanyaku lagi, kalau memang pindah sekolah, seharusnya Zara memberitahuku. Karena sudah kesepakatan kami berdua, kalau biaya sekolah Arsya adalah tanggunganku. Dan kami juga sudah sepakat, segala sesuatu tentang Arsya akan kami putuskan bersama, termasuk pilihan sekolah Arsya.
"iya bang, pindah..." ucapnya seperti takut – takut. Aku semakin mencurigai gelagat Zara.
"tunggu abang, abang langsung ke tempat kamu sekarang, abang sudah masuk tol JORR" ucapku langsung menutup sambungan telepon. Ini tidak bisa di bicarakan lewat telepon. Aku harus membicarakannya langsung.
****
Aku sudah sampai di FoodGasm, aku segera masuk dan naik ke lantai dua. Dimana kantor Zara ada. Aku mengetuk ruangan itu, dan membuka pintunya perlahan. Arsya sudah didalam, dia langsung lari menghambur padaku. Aku pun berjongkok untuk mengangkat tubuhnya. Aku menggendong dan menciumi wajahnya, aku meladeninya sebentar, sebelum aku menjelaskan padanya kalau aku harus berbicara dengan mommy nya.
Zara sudah tampak ketakutan, ketika aku menatap dan berjalan ke arahnya. Aku duduk di kursi yang terletak di depan meja kerjanya. Aku melipat kedua tanganku didatas meja. Zara tampak serba salah dan melarikan tatapannya kesana kemari, gelisah.
"ada apa sebenarnya?" tanyaku, dia pun menatapku semakin ketakutan. Dia menunduk dan menggigit bawah bibirnya. "Zara.. jawab" tegasku. Aku tidak suka dipermainkan seperti ini. bahkan aku harus mengetahui kabar ini lewat gurunya, bukan lewat Zara langsung. Betapa aku terdengar bodoh sekali, ketika di telepon tadi.
"maaf bang..." lirihnya, aku menyugar rambutku kasar, menghela napasku kesal.
"abang gak butuh kamu minta maaf, abang butuh penjelasan. Kenapa Arsya tiba – tiba pindah sekolah? Kalian mau kemana?" ucapku, aku masih berusaha untuk menahan emosiku, menjaga intonasi bicaraku. Aku tidak pernah mau membentak wanita, apalagi jika wanita itu adalah wanita yang aku cintai.
"kami berangkat ke Perth bang... 1 bulan lagi.." ucapnya lirih, aku rasanya seperti dihantam palu godam di kepalaku. Mereka akan meninggalkan negara ini, dalam 1 bulan, dan tidak membicarakan apa – apa denganku.
Ini benar – benar keterlaluan.
"Ra.. kapan kamu mau kasih tahu abang soal ini? sehari menjelang keberangkatan? Atau bahkan setelah kalian sampai sana? Apa mungkin malah gak sama sekali?" cecarku, aku rasanya antara ingin marah, membanting apa saja yang ada didepanku atau berteriak dan menangis karena akan segera jauh dari anakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
chasing you back ( where are you Zara?)
RomanceWarning! Adult content 21+ Penyesalan selalu datang terlambat. Sesuatu yang berharga, baru akan terasa ketika sudah kehilangan. Bagaimana cara mendapatkannya kembali? Adrian Kamil Nasution : Dosaku ke Zara terlalu besar, bahkan mungkin tidak termaaf...