Zara,
Aku memang melarikan diri dari Bang Ian, aku takut dia akan memaksa ku menggugurkan kandunganku. Hatiku rasanya pecah berhamburan, mendengarnya tidak menerima kehadiran janin di rahimku. Bahkan dia pria pertama yang menyentuhku,bahkan mungkin terakhir. Aku cinta padanya.
Aku hanyalah anak mami papi yang selama ini hidup dalam kungkungan pengawasan kedua orang tuaku. Mereka selalu membuat hidupku itu hitam dan putih, hanya ada malaikat dan setan didalamnya. Mereka tidak pernah menceritakan, bahwa setan kadang menyerupai malaikat wujudnya, atau sebaliknya.
Dengan segala daya upaya, mereka selalu membuat hidupku jelas, dan aman. Selalu aman.
Saking amannya, aku tidak diperkenankan untuk mengenal cinta. Bukan aku tidak pernah jatuh cinta, tentu aku mengalami fase cinta monyet dibangku SMA. Tapi aku bisa apa? aku yang selalu diantar dah dijemput tepat waktu, dan supir yang mengantar jemputku adalah orang kepercayaan papi, yang sudah paham betul, bahwa tidak ada satu laki – lakipun yang boleh mendekatiku.
Aku juga tumbuh menjadi anak yang sangat patuh, walau kadang aku merasa bosan juga. Aku kadang ingin mencicipi rasanya pergi hang out bersama teman – teman. Aku hanya bisa duduk tersenyum mendengar pengalaman teman – temanku hang out di mall, menonton konser boyband yang sedang top. Aku tidak pernah mengalami itu, mami dan papi, selalu meyakinkan ku, so many bad people out there, jadi aku better stay close dengan mereka.
Sampai hari itu, pertama kalinya jantungku berdetak kencang, melompat – lompat tidak karuan. Ketika sepasang mata yang tajam dan mengintimidasi memandangi ku di salah satu lorong library kampus.
Bagaimana aku bisa bersekolah di benua yang jauh disana? Setelah perdebatan panjang dan lebar, orang tua ku akhirnya merelakan ku melanjutkan study ke Leiden Belanda. Disinilah, awal semua hari baruku terjadi. Aku bebas, aku bebas menentukan mauku, jam makan ku, jam tidur ku, aku bebas berjalan – jalan menikmati lingkungan sekitar ku. tapi, aku tetaplah aku, gadis kecil yang memandang hidup itu hitam dan putih.
Tatapan ku seperti terpenjara pada sosok didepanku, senyumannya benar – benar melemahkan. Tatapannya menghanyutkan. Walau aku sempat waspada ketika dia mengajakku berkenalan, apalagi ketika dia berbisik dengan bibir yang nyaris menempel ditelingaku saat kami di library.
Tapi entah kenapa,seperti ada sebuah panggilan kecil di hatiku yang menyebutkan, Bang Ian ini adalah sosok putih kehidupan. Itulah yang membimbing langkahku, untuk menemuinya disebuah cafe yang dia sebutkan, yang tidak jauh dari kampus.
Awal perkenalan kami, semuanya manis, dia manis, dia lembut, dia hangat. Bahkan aku tidak ragu – ragu menyambutnya di apartemenku. Karena aku percaya, Bang Ian tidak akan menyakitiku. Tidak akan. Bahkan dia selalu menyentuhku seperti memegang barang pecah belah yang mudah rusak.
Tapi, semua pandanganku tentangnya berubah 180 derajat. Ketika aku memberitahukan keberadaan anaknya didalam rahimku. Dan dia mengatakan 'we can't keep the baby'. Rasanya duniaku runtuh, hancur.
Bahkan aku belum tuntas membayangkan mami dan papi jika mendengar kabar ini, sekarang, pria yang menghamili ku menolak janin ini. Tubuhku rasanya gemetar, limbung, pandanganku kabur dan bingung.
Seminggu, bang Ian tidak menemuiku, aku memang memutus kontak kami, aku tidak sanggup membayangkan bang Ian akan merongrongku untuk melenyapkan bayi ini.
Aku tidak habis pikir, usia bang Ian kala itu sudah 26 tahun, apa susahnya menikah di usianya? Bagaimana dengan ku yang baru 19 tahun? Duniaku bahkan hancur, kuliahku, kepercayaan mami dan papi yang sejak awal sudah berat melepasku ke dunia bebas ini tanpa pengawasan mereka. Aku percaya, kondisiku yang paling mengenaskan diantara kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
chasing you back ( where are you Zara?)
RomanceWarning! Adult content 21+ Penyesalan selalu datang terlambat. Sesuatu yang berharga, baru akan terasa ketika sudah kehilangan. Bagaimana cara mendapatkannya kembali? Adrian Kamil Nasution : Dosaku ke Zara terlalu besar, bahkan mungkin tidak termaaf...