PART 54

5.3K 621 7
                                    

Zara,

Sudah 2 minggu berlalu sejak acara lamaran ku dan Gavin, yang bahkan tidak pernah ku ketahui rencananya. Dia benar – benar merancang segalanya dengan baik. Tapi yang ku lihat sekarang ini adalah Gavin yang seperti kebingungan dan ketakutan.

Mami yang selalu memaksa Gavin, kapan pernikahan akan di segerakan, hanya membuat Gavin semakin merasa terpojok. Jujur, aku menjadi tidak yakin dengan Gavin, sekaligus kasihan melihatnya. Apakah Gavin melamarku atas paksaan mami?

Arsya juga menjadi banyak murung. Setiap dia pulang sekolah, dia lebih memilih menghabiskan bermain sendirian dikamar. Gavin yang tadinya mulai akrab dengan Arsya, sekarang jadi seperti harus berusaha lagi. Sepertinya Arsya memandang Gavin seperti seorang penipu. Aku pun belum menanyakan pada Arsya, apa yang sebenarnya dia pikirkan.

Aku ingat persis, bagaimana Arsya menangis histeris di acara pertunangan kami. bahkan dia terus meronta meminta dibawa pulang oleh bang Adrian. Malam itu Arsya tidak mau pulang, dan akhirnya tidur di apartemen bang Adrian lagi. Bahkan dia menolak ke sekolah, dan tidak mau diantar ke restaurant ketika bang Adrian harus bekerja. Dan akhirnya dia dibawa ke kantor oleh bang Adrian. Beruntung hari itu bang Adrian hanya ada meeting internal dikantor, tidak ada jadwal meeting diluar.

Arsya sempat tidak mau sekolah selama 3 hari, dan akhirnya ku sampaikan ke gurunya kalau Arsya sakit. Dia menolak disapa oleh Gavin, bahkan menepis tangannya kuat – kuat ketika Gavin ingin menggendongnya, lalu berlari masuk kedalam kamar dan membanting pintunya.

Mami? Tentu saja menyalahkan bang Adrian. Dia bahkan memintaku melarang bang Adrian bertemu dengan Arsya, sampai hari pernikahan kami tiba. Hari pernikahan yang entah kapan, belum di bicarakan antara kami. aku bahkan tidak berani membicarakan apa – apa sejak Gavin melamarku.

"Ra..." aku menoleh ke sumber suara, ternyata Gavin. Dia duduk disampingku, aku sedang duduk di sofa ruang TV rumahku. "Arsya sama daddy nya lagi?" tanyanya padaku. Arsya memang menangis dan meminta bang Adrian menjemputnya lagi tadi ketika dia transit sepulang sekolah di restaurant.

"iya..." jawabku setenang mungkin, Gavin menghela napasnya resah.

"dia benci sama aku ya?" tanyanya padaku, aku hanya tersenyum sambil membelai lengannya lembut "aku salah apa Ra? Aku bingung" Gavin menatap lurus ke layar TV, tapi sinar wajahnya menyiratkan orang yang sedang banyak pikiran.

Aku menggenggam tangan Gavin "dia hanya kaget Vin.. dia gak siap lihat semuanya" Gavin menatapku juga, kami saling berpandangan "Vin... kalau aku minta ini, kamu marah ga?"

Dia mengerutkan keningnya, bingung dengan maksudku. Aku menghela napasku menenangkan diriku, bersiap kalau – kalau Gavin akan marah menyikapi permintaanku "boleh gak, Arsya gak usah kita paksa panggil kamu papi? .... ini perasaanku aja. Tapi kayaknya, Arsya ngerasa kalau dia bakalan di pisah dari daddy nya, dengan dipaksa panggil kamu papi, makanya dia jadi memusuhi kamu"

Gavin mendengus kesal "tapi nyatanya aku bakalan jadi ayah tirinya dia kan, Ra"

"iya... tapi dia hanya anak 5 tahun Vin, dia belum paham. Dia masih baru menemukan sosok daddynya, beberapa bulan ini, dia masih antara takut dan bahagia ketemu daddynya. Dia masih suka nanya, apa bang Adrian bakalan pergi lagi, setiap bang Adrian pamit dinas berhari – hari. Dia masih punya ketakutan itu Vin. Tolong aku Vin.." aku memohon padanya, aku tidak mau pernikahan ku dan Gavin, hanya menjadi luka baru untuk Arsya. lantas buat apa aku menikah, kalau akhirnya hanya meninggalkan luka untuk anakku?

"pernikahan kita, gak hanya untuk kebahagiaan kita aja kan? tapi juga buat Arsya, buat orang tua kita. Buat semuanya... aku gak mau ada seorang pun yang terluka karena pernikahan kita" aku menambahkan penjelasanku, dan Gavin masih tampak tidak rela dengan penjelasanku.

chasing you back ( where are you Zara?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang