PART 50

6.4K 681 12
                                    

Adrian,

Barra menepuk pundaku dan sedikit meremasnya "he'll be fine, mate" ucapnya menguatkanku. Aku baru saja mengantar dia ke ruangan pengambilan sample darah, Kanaya bahkan menyusul juga kesini.

"gue sama Naya aja, lo balik lah ke kamar, temenin anak lo" tepuknya pada lenganku "nanti gue nyusul" sambungnya. Aku hanya mengangguk lemah, Naya juga mengusap lembut lenganku, sorot matanya menyiratkan simpatik yang mendalam, lalu mereka berdua menghilang dibalik pintu ruang pengambilan sample darah.

Aku akhirnya memutuskan untuk kembali kedalam kamar Arsya. ketika aku masuk, suster tampak menggantungkan kantung darah di tiang infus. Darahku. Aku melihat Zara mengawasi proses pemasangan selang darah itu, dengan Gavin yang terus merangkulnya, aku melihat Zara entah berbicara apa pada Gavin dengan sorot mata pilu, lalu Gavin mengusap lembut lengannya dan mengecup pelipisnya. Aku berjalan mendekat dan berdiri tidak jauh dari suster, suster memperhatikan kantung dan selang dengan cermat, lalu memperhatikan alirannya apakah lancar atau tidak.

Darahku mengaliri tubuhnya. Walau kenyataannya memang darahku yang mengalir di tubuh Arsya selama ini. tapi kali ini, segalanya dibuat lebih nyata, dengan aku melihat sendiri darahku mengalir didalam tubuhnya.

"berapa lama sus kira – kira?" tanyaku, aku harus bisa bersikap lebih tenang dari Zara. Walau hatiku remuk hancur melihat Arsya terkulai lemah dan pucat seperti ini, bahkan sejak tadi dia tertidur lemas. Tidak ada tenaga.

"kurang lebih 1-2 jam, kalau transfusi darah itu maksimal 4 jam" ucapnya, aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada suster yang membantu proses pemasangan tadi. Aku menarik kursi dan duduk di sisi kiri Arsya. mengusap lembut jari- jari mungilnya yang menyembul dibalik balutan perban yang merekatkan papan penyangga dibawahnya. Papan penyangga yang biasa di gunakan pada pasien anak – anak, untuk menghindari gerak tangan berlebihan yang bisa mengakibatkan posisi jarum infus bergeser, gambarnya Mc.Queen, kesukaannya.

Aku merebahkan kepalaku di tepi brankar ini, mataku terpejam, berusaha menguatkan diri menghadapi kejadian ini. anakku terkulai lemah, aku takut... aku takut aku kehilangan dirinya. Ya Allah, jangan kau kabulkan ucapanku 6tahun lalu, dimana aku berkata dengan lancang, kalau dia harus di lenyapkan, kalau aku tidak bisa menerimanya, tidak bisa membiarkannya tumbuh. Jangan kau kabulkan ucapanku itu ya Allah, ampuni aku yang sudah dengan sombong dan besar kepala, menolak sebentuk rizki darimu, rizki yang bahkan terlalu amat berharga. Seorang anak yang sangat tampan, pintar, hatinya pun sangat baik. Seorang anak, yang bahkan tidak pernah ku bayangkan, akan membuat wajahku sangat berbinar setiap menyambut kedatangannya. Seorang anak, yang dulu ku takuti, ternyata adalah sumber segala kebahagiaanku. Seorang anak, yang membuat hidupku jauh lebih berarti.

Satu jam berlalu, Arsya masih lemah, matanya terbuka sebentar, lalu menutup lagi. Suaranya lirih, memanggilku "daddy..." aku beranjak mendekat, mengusap kepalanya lembut.

"yes, baby.. daddy's here" aku mengusap lembut wajahnya, aku tersenyum menatapnya, aku berusaha tidak meneteskan air mata setetes pun dihadapannya.

"I want to sleep with you and mommy.." ucapnya, aku menatap Zara yang sedang duduk di sisi kanan Arsya, dengan Gavin yang juga duduk bersebelahan dengannya. "please..." ucapnya lirih, aku tidak berani menolaknya, aku bahkan terlalu takut membayangkan, ini mungkin adalah saat terakhir ku mendengar permintaanya. Dia begitu lemah.

"the bed is too small, baby.." jawabku sambil terus mengusap lembut keningnya hingga rambutnya "I'll seat here, holding your hand, and mommy will lay down beside you, okay?" tawarku, selain memang tempat tidurnya kecil dan pasti tidak muat, tentunya akan sangat awkward kalau aku berbaring bertiga dengan Zara diatas tempat tidur.

chasing you back ( where are you Zara?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang