Part 7

8.8K 997 19
                                    

"lo ketemu dia, dia didepan mata lo, dan lo gak ngejar? Lo mikir apa sih Yan?"

Aku yang saat ini sedang uring – uringan, akhirnya memutuskan bertemu lagi dengan Barra dirumahnya. Padahal ini sudah pukul 7 malam, tentunya sangat mengganggu privacy mereka.

"pa... jangan marah – marah gitu dong, namanya juga orang bingung" Kanaya mengusap – usap bahu Barra yang seketika kayak orang kesurupan, mengetahui aku tidak berusaha apa – apa ketika melihat Zara.

Jujur, aku mendadak lumpuh otak melihat Zara dan anakku. Seperti melihat sesuatu yang tidak nyata. Otak ku mendadak hang, tidak bisa berpikir dengan baik.

"udah... udah.. lo telepon lah mbak Ema, bilang kemarin lupa minta nomor telepon Zara" Kanaya memberi ide kepadaku, cuma masalahnya, apa itu hal yang wajar? Nanti disangka aku ganjen lagi.

"emang bakal di kasih? Kalau dia malah pikir gue genit gimana?"

Kanaya berdecak menanggapi ku "pake akal dong bapak pengacara... aduh, itu otak pengacara handalnya kok tiba – tiba buntu gitu sih?"

"ma, yang pengacara handal itu papa" Barra yang tidak terima mendengar Kanaya memujiku, langsung menyerobot, dan di hadiahi pelototan oleh istrinya.

"ya lo bilang lah, Zara teman kuliah dulu di Belanda, kemarin udah ngobrolin soal reunian, lupa minta nomor telepon, jadinya gak bisa kabarin detailnya"... "yang meyakinkan dikit gitu loh, Yan"

Kanaya menjentikan jarinya didepan wajahku, sontak aku pun jadi tertawa melihat tingkahnya. Memang aku tidak salah dengan mendatangi pasangan ini.

"btw Yan, om dan tante, udah tahu?" Barra bertanya padaku, dan aku menggeleng.

"belum saatnya Bar, nanti, tunggu suasana udah stabil dulu, belum tentu juga Zara mau kasih izin gue dekat – dekat sama anak gue kan?"

Suami istri didepanku ini mengangguk bersamaan pertanda paham.

*****

Ide Kanaya sebenarnya agak gila dan berkesan seperti remaja yang berbohong, tapi gak ada salahnya juga dicoba. Mungkin kalau yang melakukannya adalah laki – laki berusia 32 tahun sepertiku, malah tidak kelihatan kalau bohong.

Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan whatsapp pada mbak Ema.

Me : selamat pagi mbak Ema, maaf mengganggu, saya Adrian yang kemarin mau jual rumah di Andara. Maaf sebelumnya, boleh minta bantuannya?

Ema property Agent : pagi, mas Adrian, bantuan apa mas? Saya masih carikan calon pembeli lainnya nih, mungkin akhir minggu ini.

Me : kalau boleh, saya minta nomor telepon Zara, kemarin sudah di kasih tapi lupa save, mau info undangan soalnya, kebetulan kami teman sekampus.

Lama aku tidak mendapatkan balasan dari mbak Ema, aku sudah pupus harapan. Mana mungkin dia mau memberikan nomor telepon client nya kepadaku, bisa – bisa hancur kredibilitas dia sebagai agen pemasaran.

Akhirnya aku putuskan meninggalkan ponsel ku di meja, dan pergi menghadiri meeting dulu. Sudahlah, tidak usah berharap banyak, paling tidak Zara di Jakarta, jadi chance untuk bertemu lagi akan lebih besar.

Mungkin mbak Ema juga mengonfirmasi dulu pada Zara, dan Zara tidak mengizinkan?

Meetingku berlangsung selama 2 jam, dan jujur saja, pikiran ku tidak 100% fokus. Ale yang juga ikut meeting, bolak balik melirikku, dan memberi kode – kode mata agar aku kembali fokus, karena aku bolak balik melamun.

Bagaimana aku tidak melamun? Aku punya anak. Aku ternyata punya anak, dan anak itu mungkin saja, adalah satu – satunya kesempatan ku menjadi ayah.

chasing you back ( where are you Zara?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang