22

106 30 0
                                        

Pranata bicara banyak tentang dirinya dan kejadian yang menimpanya. Pranata begitu terbuka pada orang di hadapannya. Baru sebentar bertemu, tetapi Pranata bisa merasakan ketulusan orang itu.

"Tuan, apakah rumahku masih jauh?"

"Sudah dekat. Sepertinya sebentar lagi kita sampai." Pria yang dipanggilnya "tuan" menjawab pertanyaan Pranata dengan nada bersahabat.

"Aku sudah rindu pada teman-temanku."

"Ya ... aku paham. Sudah lama kamu tidak bertemu mereka."

Wajah Pranata yang berbinar menatap langit yang terang. Pemandangan pegunungan mulai terlihat setelah sebelumnya Pranata hanya melihat gedung-gedung dan orang-orang yang lalu-lalang.

Kepala anak itu menjulur keluar jendela kereta. Kuda-kuda yang menarik kereta itu berlari dengan langkah tenang.  Udara tidak terlalu panas bila dibandingkan dengan Batavia. Suasana seperti itu yang tidak dirasakan Pranata beberapa hari belakangan.

"Kamu senang, Pranata?"

"Ya, Tuan. Kemarin-kemarin saya hanya mencium bau busuk."

Semilir angin menerpa wajah anak itu. Dia tersenyum penuh kesenangan. Beban pikirannya mulai berkurang, ketakutan pun menghilang.

Pranata begitu asyik memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Burung-burung terlihat beterbangan diantara pepohonan. Suaranya terdengar samar karena kalah oleh suara hentakan kaki kuda.

Tapi, ada suara kaki kuda lain dari arah yang berlawanan. Suaranya semakin terdengar mendekat.

"Masukan kepalamu, ada kuda lewat.", Kusir memperingatkan Pranata untuk menarik kepalanya dari luar jendela.

Tuktak ... tuktak ...

Suara hentakan kuda itu semakin mendekat. Melalui jendela, Pranata bisa melihat seseorang dengan pakaian serba hitam serta bertopeng kain hitam menunggang kuda dengan kencangnya.

Siapa dia? Batin anak itu penuh tanya.

"Kenapa, Nak?"

"Tidak apa-apa. Saya hanya ingat kejadian itu ... ketika saya diculik ... penculiknya berpakaian seperti penunggang kuda itu."

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang