28

97 26 0
                                    

Api mulai meredup seiring dengan habisnya bahan bangunan yang terbakar. Untungnya, warga sudah berjaga menjaga bangunan sekitarnya sehingga tidak terimbas kebakaran hebat di Penginapan milik keluarga A Ling.

Gadis itu hanya duduk termangu ketika menyaksikan harta keluarga hilang dalam waktu sekejap. Bukan hanya bangunan penginapan itu beserta isinya yang raib, tetapi Ayah dan Ibunya ikut menjadi korban.

Nyawa mereka tidak tertolong. Dan, tidak ada yang berani menolong. Warga sekitar kewalahan. Begitupun Raden Panca berkali-kali meminta maaf pada A Ling karena ketidakberdayaannya.

"Maafkan saya Nona, saya tidak bisa menyelamatkan orang tua kamu."

"Kenapa harus meminta maaf. Kau tidak salah apa pun dan pada siapa pun." A Ling berkata dengan nada datar.

"Saya benar-benar merasa tidak berguna ...."

"Hapus itu dari pikiranmu."

A Ling mengarahkan tatapan dari api yang mulai jinak. Kobarannya tidak sebesar sebelumnya, tetapi hatinya semakin remuk melebihi sebelumnya.

"Maaf, melihat wajahmu ... aku teringat seseorang?" A Ling menatap wajah Raden Panca. Cahaya dari kobaran api menerpa wajah Raden Panca dan memperjelas bagaimana lekuk wajahnya.

"Maksudmu?"

"Tadi pagi aku kedatangan tamu yang wajahnya mirip denganmu."

"Mirip denganku?"

"Ya, mereka sekeluarga. Anak bersama Ayah dan Pamannya."

"Boleh tahu siapa namanya?"

"Ah, aku tidak bisa bicara banyak pada orang yang baru aku kenal."

"Ya, maaf ... tapi ini penting bagiku. Aku mencari seseorang hingga datang ke sini."

"Mencari seseorang?"

"Ya ... maaf ... perkenalkan ... namaku Panca."

"Aku A Ling."

"Saudara perempuanku sudah beberapa hari menghilang ...."

"Pratiwi?"

"Kau mengenalnya?"

"Tadi siang dia sudah pulang bersama Pamannya. Raden Bakti."

"Ya ... itu Ayahku. Pratiwi saudara sepupuku."

"Jadi ... kau mencari orang yang sebenarnya sudah pulang. Sebaiknya kau pulang ke rumahmu. Kedatanganmu ke sini hanya sia-sia saja."

"Ya, sebaiknya begitu. Tapi, bagaimana kau bisa mengenal Pratiwi?"

"Ceritanya panjang ... kau bisa tanyakan pada dia."

Kedua remaja itu kembali menatap kobaran api di bangunan itu. Warga mulai berani untuk mendekati dan berusaha memadamkan api. Walaupun dengan cara seadanya.

"A Ling."

Wajah A Ling dan Panca spontan mengarah pada seseorang yang tiba-tiba datang.

"Ya, Tuan."

"Aku datang ke sini untuk mengantarkan ini."

Seorang pria dengan stelan kemeja putih dan bertopi cokelat menghampiri dan menyerahkan sepucuk surat.

Surat dari Bank, surat apa ya?
Batin A Ling bertanya-tanya.

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang