44

82 28 0
                                    

Walikota Valentjin masuk ke ruangan utama Bank Batavia. Teriakannya mengagetkan para pengunjung dan pegawai yang sedang bertugas melayani nasabah.

"Tuan ... tuan tenang. Ada yang bisa kami bantu?" seorang pria menyambut  Valentjin.

"Mana Direktur? Mana pimpinanmu?"

"Direktur ada di ruangannya ...."

"Aku ingin bicara dengannya!"

Amarah Valentjin memuncak. Meskipun orang di depannya tidak bisa melihat dengan jelas seluruh wajahnya, orang di dalam ruangan itu bisa merasakan kemarahan Valentjin.

"Ada apa Tuan Walikota, ada yang bisa saya bantu?" orang yang dicari Valentjin datang.

"Tuan Direktur, kenapa Anda menagihku ketika musibah sedang menimpaku?"

"Maksud Tuan?"

"Hei ... kau tahu kan ... semua orang di Batavia tahu ... jika ekonomi kota ini sedang terpuruk ...."

"Ya, kita tahu situasi itu ... kebakaran di Pelabuhan membuat ekonomi Batavia sedikit terganggu ...."

"Kalau kau tahu, kenapa kau memberiku tagihan ... tagihan yang lebih mirip ancaman ...."

"Tuan ... ini hanya kesalahpahaman."

Di ruangan itu tidak hanya Valentjin yang tersinggung dengan surat dari Bank. Tapi, ada 2 nasabah lain yang mempunyai masalah yang sama. Seorang gadis dan sepasang suami-istri.

"Saya juga begitu, Tuan!" seorang gadis tiba-tiba menyela pembicaraan dengan tensi tinggi itu.

"Apa? Hei sebaiknya kau diam saja!" Direktur Bank memarahi gadis itu.

"Hei, biarkan dia bicara." Valentjin seakan mempunyai dukungan.

"Nama saya A Ling. Saya datang ke sini karena ada tagihan dari Bank. Dan, tagihan itu datang tepat ketika penginapan kami sedang mengalami kebakaran."

"Saya juga, Tuan." sepasang suami istri yang sedari tadi hanya diam saja kini mulai bersuara.

Sang Direktur seperti diserang dari berbagai sisi.

"Itu hanya kebetulan."

"Tidak mungkin! Suratnya pun datang ketika api yang membakar penginapan kami belum padam!" A Ling memberi penjelasan.

"Saya juga. Suratnya datang ketika kebakaran masih sedang berkobar di rumah makan yang kami tinggalkan."

Direktur tidak bisa mengelak. Dia hanya diam.

"Hei Direktur ... mereka adalah bukti nyata jika kau memanfaatkan keadaan. Ketika nasabahmu sedang kesusahan kau sengaja menagih utang-utangnya ... tapi untuk apa? Untuk menguasai jiwanya?"

"Ya betul! Ini seperti kesengajaan!"

"Dengar, gadis seumur dia saja bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Nasibku lebih nahas lagi ... kapal dagangku habis terbakar di Pelabuhan ... belum sampai 3 malam ... lalu Bank menagih utang-utangku ...."

"Sungguh tidak berprikemanusiaan."

"Kami harus membayar dengan apa? Harta kami habis."

Sekali lagi, Direktur Bank tidak bisa menjawab. Dia hanya diam dengan wajah memerah. Kulitnya yang putih berubah menjadi kemerahan karena emosi yang tidak karuan.

"Tuan, nyonya ... ini salah paham.  Maaf, mungkin ini hanya masalah cara kami yang tidak tepat. Tapi, yakinlah. Kami hanya menawarkan solusi."

"Solusi apa?"

"Kami akan memberi Anda semua pinjaman baru. Ya, tambahan."

"Bagaimana dengan bunganya?"

"Justru itu yang harus sama-sama dipahami. Bunga yang harus dibayar memang lebih besar dari sebelumnya."

"Berapa persen?"

"Euuu ... 20 % ..."

"Apa? Tinggi sekali! Kau bermaksud memeras kami!?" A Ling naik pitam.

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang