49

82 23 0
                                    

"Sampai jumpa, A Ling."

"Kapan-kapan kau boleh berkunjung padaku."

"Oh, terdengar seperti sebuah undangan yang harus ditunaikan."

"He ... baguslah kalau mengerti." A Ling tersenyum manis pada Raden Panca.

"Tapi ... kemana aku harus berkunjung. Rumahmu ...."

"Panti Asuhan Tionghoa. Akhirnya, aku kembali ke rumah tempatku berasal."

Sadewa berjalan pelan, penunggangnya melambaikan tangan.

"Panca!" A Ling berteriak, "Sampaikan salamku pada Pratiwi."

"Iya!"

Kemudian, kuda itu berlari lebih kencang.

"Huss ...."

TOK TAK TOK TAK ...

Suara kaki kuda terdengar lebih keras. Hewan tunggangan itu berlari melintasi jalanan yang tidak terlalu ramai. Raden Panca merasakan hal yang tidak biasa dari Batavia. Kota perdagangan itu kini hanya menjadi sederet bangunan-bangunan tidak bertuan. Masih banyak toko yang tutup.

***

Terdorong rasa penasaran, Raden Panca ingin tahu bagaimana keadaan seantero kota. Remaja itu berbelok arah demi mengelilingi kota. Mencari tahu, apakah suasana sepi ini sama di setiap penjuru kota.

Oh, tidak. Tidak semua bagian dari kota ini sepi. Ada sebuah bangunan yang dikunjungi banyak orang.

Sadewa berjalan pelan, penunggangya memerhatikan kerumunan yang sedang terjadi. Banyak orang dengan bermacam-macam pakaian. Ada yang bergaya Eropa, Bugis, Cina dan Jawa. Raden Panca mendekat, mencuri dengar.

"Tuan Walikota, bagaimana dengan nasib kami?" salah seorang diantara mereka berteriak.

"Tenang. Kita selesaikan masalah yang kita hadapi dengan kepala dingin."

"Tuan Walikota, uang kami habis. Bank pun tidak sanggup memberikan pinjaman."

"Dengar ... tadi aku berkunjung ke Bank Batavia. Mereka menawarkan pinjaman cepat."

Orang-orang yang berkerumun itu saling tatap. Mereka berbicara satu sama lain dengan riuh. Terdengar seperti suara lebah yang mendengung.

"Tuan Walikota, saya mendapatkan surat penawaran pinjaman dari Bank Batavia. Tapi, tidak saya gubris. Ah, itu Bank kecil. Sedangkan kebutuhan saya besar sekali. Kapal milik saya terbakar.", seorang pria berkulit putih menjelaskan.

"Hei Tuan, apakah Anda sudah mencoba mengajukan
pinjaman?"

Pria itu menggelengkan kepala.

"Baiklah. Dengar. Kalian semua datang ke Bank Batavia. Aku beri kalian surat pengantar dari kantor Walikota. Ajukan pinjaman, aku yang menjamin."

Semua orang yang hadir saling tatap. Mereka menganggukan kepala. Wajah mereka yang menampakan kemarahan, sekarang mulai menampakan rona kegembiraan.

Tidak lama kemudian, satu per satu kerumunan itu membubarkan diri. Mereka mulai masuk ke dalam kantor Walikota untuk membuat surat pengantar yang dijanjikan Walikota.

***

Dari kejauhan, Raden Panca kembali termenung. Pikirannya mulai dihinggapi pertanyaan.

Kenapa hanya Bank Batavia yang menjadi rujukan?

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang