39

95 27 0
                                        

Raden Panca terbangun dari tidurnya pagi itu. Bukan tidur yang nyaman. Karena, dia hanya menyenderkan tubuh di batang pohon setelah sholat subuh. Tidur yang singkat namun cukup untuk mengusir kantuk akibat begadang semalaman.

Suara keramaian membuatnya terjaga. Suatu pemandangan tak biasa ketika warga berkerumun di pinggir jalan. Mereka meneriakan kata-kata umpatan seperti meneriaki seseorang atau sesuatu yang dibenci.

"Huhhh ... dasar tidak becus!!"

"Penjarakan saja dia!!"

Seperti itulah teriakan-teriakan yang terdengar oleh Raden Panca. Dia penasaran kenapa orang-orang berkerumun di pinggir jalan dan berteriak-teriak.  Remaja itu beranjak dan berjalan mendekati kerumunan.

Dari belakang kerumunan, dia bisa menyaksikan iring-iringan Polisi. Jumlahnya cukup banyak, hingga 30 orang. Tapi, Raden Panca heran ketika Polisi sebanyak itu hanya menggiring seorang tawanan.

Tangan dan kaki tawanan itu diikat. Karena diikat, dia sulit sekali untuk berjalan. Sungguh pemandangan yang menyesakan dada.

"Paman, siapa tawanan itu?"

"Kau tidak mengenalnya?"

"Maaf, saya bukan orang sini."

"Oh ... begitu. Dia itu Syahbandar. Kepala Pelabuhan."

"Apakah ini ada hubungannya dengan kebakaran di Pelabuhan?"

"Sangat mungkin."

"Pantas ... warga seperti membencinya ...."

"Ya, dia harus bertanggung jawab pada kebakaran yang terjadi. Lihat ... gara-gara dia denyut nadi kehidupan Batavia menjadi lumpuh."

"Ya, saya bisa merasakan itu."

Pria yang ditanyai Raden Panca seperti jurubicara warga untuk menerangkan kepada orang asing bahwa apa yang dilakukan Polisi adalah hal yang tepat. Dan, Raden Panca bisa memahami kenapa Syahbandar adalah orang yang harus dimintai tanggungjawab atas kejadian itu.

"Dan ... baru pagi ini ... ditemukan 3 mayat anak buahnya di Pelabuhan."

"Anakbuah Syahbandar?"

"Ya ... kemungkinan dia pelakunya."

"Untuk melenyapkan saksi?"

"Ya, kau cerdas, Nak. Itulah yang semakin membuat warga membenci Syahbandar."

Raden Panca kembali mengalihkan pandangan pada pesakitan di jalanan yang berjalan sangat pelan. Kakinya yang diikat sangat menyulitkan langkahnya. Kegagahan seorang pejabat Pemerintah, runtuh seketika apabila menyaksikan orang ini.

"Padahal, sebelumnya dia orang yang disegani di Pelabuhan," pria lain di sebelah Raden Panca mencoba menjelaskan.

"Apakah ... tidak ada yang membela?"

"Membela untuk apa?"

"Ya ... bisa jadi ini bukan hanya tanggungjawab dirinya sendiri."

Pria disebelah Raden Panca terdiam. Nampak berpikir.

...

"Lihat! Pertanyaanmu terjawab sudah, Nak."

Raden Panca dan orang-orang di sekitarnya mengarahkan pandangan pada sesuatu yang mengejutkan. Para wanita berteriak karena tidak sanggup menyaksikan apa yang terjadi. Anak-anak pun sontak menangis terbawa suasana.

Lima pria bertopeng dan berpakaian serba hitam melompat dari atap bangunan dan berusaha mendekati si tawanan ...

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang