19

110 32 0
                                    

Setelah siang, Raden Bakti sampai di Batavia. Matahari telah meninggi ketika dia sudah bisa melihat orang yang lalu-lalang di kota sibuk itu.

Pedati yang dinaikinya langsung menuju Pelabuhan. Ada pesanan gerabah dari luar Batavia dan akan dikirim menggunakan jalur laut. Sembari mengirim pesanan itu dia pun berharap bisa menemukan Pratiwi dan Pranata.

Sinar matahari semakin menyengat kulit. Didapatinya Pelabuhan tidak sesibuk hari-hari sebelumnya. Dia keheranan karena terakhir kali ke tempat ini didapatinya sebagai tempat paling sibuk di Batavia. Tapi kali ini terasa sepi.

Sebelum masuk area Pelabuhan, serdadu berkumpul dan menutup jalan. Ada apa ini?

"Maaf Tuan, ada apa ini?", Raden Bakti bertanya pada seorang serdadu yang sedang berjaga.

"Kau belum tahu? Pelabuhan kebakaran."

"Kapan?"

"Kemarin malam. Maka hari ini Pelabuhan ditutup untuk penyelidikan."

Raden Bakti keheranan mendengar berita ini. Informasi belum sampai ke telinganya. Makanya, dia terlanjur membawa barang dagangan ke Pelabuhan.

"Di sana tidak ada kegiatan sama sekali?"

"Tidak ada! Bawa pulang saja barangmu!" serdadu berteriak menyuruh Raden Bakti memutar arah. Sepertinya serdadu itu sudah bosan dengan orang yang bertanya hal yang sama.

...

Raden Bakti memutar arah pedati. Si sapi berjalan tidak semangat. Sudah seharusnya dia beristirahat dan makan siang. Tapi, rumput segar batal didapatkannya.

"Tenang sapi, kita akan beristirahat di sana. Dekat sungai. Kau boleh makan sepuasnya di sana."

Si sapi tetap berjalan pelan meskipun pemiliknya menjanjikan kenyamanan. Dia kelelahan berjalan jauh hari itu.

...

Si sapi berteduh di bawah pohon. Diikatkan tali ke pohon kemudian dihamparkan rumput segar di bawahnya.

"Kau di sini ya, jangan ke mana-mana. Aku ada urusan sebentar."

Hal yang lumrah jika seorang pemilik ternak berbicara pada sapi miliknya. Orang-orang yang menyaksikan pun hanya menanggapi dengan senyuman. Karena, mereka melakukan hal yang sama. Siang itu, berjejer pedati yang membawa barang dagangan. Sepertinya, perasaan kecewa sama menghinggapi mereka karena batal bertransaksi dan mendapatkan keuntungan.

"Aku titip pedatiku!" Raden Bakti berteriak pada salah seorang diantara yang berjejer di pinggir sungai itu.

"Iya. Dia aman bersama kami!" jawab mereka yang sedang duduk-duduk di atas pedati.

Solidaritas para pencari nafkah sudah terjalin di tempat itu sejak lama. Kepercayaan menjadi modal penting dalam usaha yang dijalankan Raden Bakti dan rekan-rekannya. Sebuah budaya tak benda dan tak kasat mata.

Raden Bakti berjalan ke arah Pelabuhan. Dia bermaksud memeriksa kembali kondisi untuk meyakinkan atas apa yang telah didengarnya.

Belum jauh dari tempatnya menambatkan pedati dan sapinya, Raden Bakti dikejutkan oleh sesuatu yang sengaja menghampirinya. Dia terheran dengan sesuatu di depannya.

"Nakula!"

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang