59

89 24 0
                                    

Tiga remaja itu berkuda dengan kecepatan tinggi. Malam yang gelap tidak menghalangi mereka untuk melecut kudanya sampai ke tujuan lebih cepat dan memastikan A Ling dalam keadaan aman.

Burung hantu yang sedang bertengger di atas pohon merasakan keheranan dengan kelakuan 3 manusia itu. Konsentrasi makhluk malam itu terganggu ketika dia sedang mengintai seekor cecurut di dekat sarangnya.

Ukk .. uukk ...

Sekawanan manusia yang melintas di jalan pedesaan memang tidak selalu ada di setiap malam. Terkecuali, manusia-manusia itu begitu menginginkan sesuatu.

Mereka benar-benar diburu waktu. Raden Panca bersama Sadewa berlari paling depan, diikuti oleh Pratiwi menunggang Nakula.

Tuk ... tak ... tuk ... tak ....

Bajra bersama kudanya tidak mau banyak bertanya walaupun hatinya masih bertanya-tanya. Apa yang dipikirkan Panca dan Pratiwi sehingga mereka nekat seperti ini?

***

Menjelang tengah malam ketiga remaja itu sampai di gerbang Ibu Kota. Mereka sampai di sana ketika Batavia dalam keadaan darurat.

Serdadu berjejer di gerbang Ibu Kota. Mereka tampak bersiaga untuk memeriksa siapa saja yang bermaksud masuk ke dalam Ibu Kota.

Hieee ...

Kuda-kuda tunggangan meringkik. Mereka mengangkat kaki depannya. Terkaget dengan perintah Tuannya yang tiba-tiba.

"Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam kota!" Raden Panca menerka.

"Ya ... tapi bagaimana kita bisa masuk ke dalam kota?"

"Mereka pasti curiga, kenapa malam-malam begini kita ke sana," Bajra meyakinkan.

"Sebaiknya kita mencari jalan lain."

"Ya ... tapi kemana?"

Raden Panca berpikir keras sambil menenangkan kuda tunggangannya.

"Lihatlah! Mereka mendekati kita. Bagaimana, kita terus terang saja kepada mereka?", Pratiwi menunjuk cahaya lentera yang mendekat.

"Ah ... mending kita menjauh dari mereka. Terlalu memakan waktu jika harus berhadapan dengan mereka."

Cahaya lentera itu semakin mendekat. Semakin terlihat jika lentera itu dipegang oleh salah seorang serdadu dengan menunggang kuda.

"Hei! Kalian! Berhenti di sana!" teriakan serdadu itu mulai terdengar jelas.

Pratiwi merasakan ketidaknyamanan, "Ayo Panca kita pergi ...!"

"Ya, sebaiknya begitu."

Raden Panca masih berpikir. Sedangkan serdadu itu semakin mendekat.

"Ikuti aku! Hiaaaaahhh!" Raden Panca melecut kudanya.

Pratiwi dan Bajra mengikuti, tapi serdadu itu tidak ingin kalah cepat. Dia melecut kudanya dengan cepat.

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang