"Kau sedang apa, Nak?"
Seseorang bertanya kepada Raden Panca dari arah belakang. Orang itu tidak asing bagi Raden Panca. Dia bertubuh tinggi, bertopi tetapi wajahnya hanya nampak sebagian. Hanya sebelah matanya yang tampak.
"Tuan ... Tuan Walikota. Eee ... maaf ...," Raden Panca merasa canggung bertemu pria itu.
"Apa yang sedang kau perhatikan?"
"Saya sedang ... melihat-lihat saja."
Walikota dan Raden Panca saling pandang. Merasa tidak sopan harus bicara dari atas kudanya, Raden Panca bermaksud pergi. Dia menghentakan kaki ke perut Sadewa.
"Ah ... kau tidak usah pergi. Turun saja. Temani aku," Valentjin mengajak remaja itu berkeliling.
"Eee ...."
"Ya. Ikuti aku."
Raden Panca turun dari kudanya dan berjalan mengikuti Valentjin. Mereka berdua berjalan ke suatu bekas ruangan tengah yang luas.
"Aku suka datang ke sini akhir-akhir ini. Di kantorku terlalu banyak orang. Sulit untuk berpikir."
"Ya, tadi saya melihatnya."
"Anak muda, kau tidak punya niat apa-apa, kan?" sebuah pertanyaan menohok diajukan pada Raden Panca. Dengan cerutu di tangan, Valentjin menatap tajam remaja itu.
"Tidak, Tuan. Saya hanya penasaran dengan keadaan Batavia beberapa hari ini. Di sana-sini ada saja bekas kebakaran."
"Termasuk di rumahku. Ini rumahku, dulu."
"Ya, saya bisa membayangkan betapa bagusnya rumah ini."
"Penasaran. Hanya itu?"
"Ya. Saya bukan orang Batavia. Baru 2 hari di sini, sudah 3 kebakaran saya saksikan. Dan, ternyata sebelumnya kebakaran sering terjadi di sini."
"Kau sudah melihat Pelabuhan?"
"Ya. Sudah. Mengkhawatirkan."
"Itulah yang sedang kupikirkan, Anak Muda. Aku khawatir dengan keadaan kota ini."
Raden Panca hanya diam. Dia bisa melihat kegelisahan di wajah pria di hadapannya.
"Hahaha ... aku bicara ... sesuatu yang sulit ... dengan orang yang baru kukenal. O ya, siapa namamu?"
"Saya Panca. Dari Desa Pujasari."
Raden Panca kemudian terdiam.
"Di sinilah semuanya berawal. Rumahku dibakar. Kemudian beberapa rumah dan tempat usaha warga, Pelabuhan dan sepertinya akan terus begitu."
"Saya juga menduga begitu."
"Aku lihat sesuatu yang istimewa dari wajahmu. Kau punya rasa peduli akan nasib orang. ... Dan terus terang saja ... meskipun aku malu mengatakannya ... aku kebingungan ... kejadian ini begitu bertubi-tubi."
"Saya mengerti, Tuan."
"... Jadi ... setelah kau melihat-lihat seantero Batavia ... apa kesimpulan yang kau dapatkan?"
"Ah, Tuan. Saya hanya anak-anak. Ini masalah pelik ...."
"Katakan saja, Nak?"
"Ini ... seperti sebuah bentuk ... pengrusakan ... pengrusakan kota secara perlahan."
"Itulah yang kumaksud kau istimewa. Kesimpulanku pun sama. ... Tapi, adakah pendapatmu ... bagaimana menyelesaikan semua ini?"
"Eee ... saya ...."
"Katakan saja, Nak."
"Mencari pelakunya."
"Kira-kira, siapa pelakunya?"
"Saya tidak tahu, Tuan."
Valentjin kembali mengisap cerutunya.
"... Tuan, apakah Tuan punya musuh?"
"Musuh. Entahlah, di luar sana banyak orang yang membenciku."
"Ya. Mungkin ... ini hanya mungkin ... dalang dari semua ini adalah orang yang membenci Tuan."
"Orang yang kukenal?"
"Mungkin."
"Bagaimana bisa kau menyimpulkan?"
"... Karena mereka melakukan ini secara diam-diam ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Manusia Api
ActionDarr ... Suara ledakan mengagetkan para pekerja pelabuhan sore itu. Syahbandar berlari ke arah ledakan, wajahnya menampakan kekagetan luar biasa. Bluurr ... Api menjalar ke setiap bagian kapal yang menjadi sumber suara ledakan. Semua orang yang be...