56

104 28 0
                                        

Valentjin termenung di ruang kerjanya. Sore itu Balai Kota sudah sepi. Pegawai yang tadi siang terlihat sibuk, kini mereka sudah pulang.

Di sore yang cerah itu, Valentjin menatap jendela ke halaman yang luas. Rerumputan hijau selalu menenangkannya. Bunga-bunga dan pepohonan  yang mengitari bangunan itu bisa mengubah suasana hati pria itu yang muram menjadi lebih tenang.

Di sela lamunannya, Valentjin teringat kata-kata anak remaja yang ditemuinya tadi siang. Dia mulai terganggu dengan kata-kata Raden Panca. Batavia mulai dihancurkan secara perlahan.

***

Dalam lamunannya, dia kembali teringat kejadian kebakaran di rumahnya. Sepekan lalu, rumah megah yang menjadi tempat tinggalnya terbakar atau lebih tepatnya dibakar.

Malam itu, Valentjin bersama anak dan istrinya sedang menikmati makan malam. Tanpa diundang, datang segerombolan orang dengan pakaian serba hitam dan bertopeng. Mereka merusak rumah itu tanpa bicara sepatah katapun.

Sulit sekali menerka apa motif mereka membakar rumah Valentjin. Mereka datang tanpa menuntut apa pun. Hanya kematian si pemilik rumah yang mereka inginkan.

Valentjin kembali teringat bagaimana istrinya berusaha menyelematkan diri. Tapi sayang, wanita itu tidak selamat.

Hanya Sophia yang menjadi temannya saat ini. Ketika kebakaran itu terjadi, Sophia bisa menyelamatkan diri dan meminta pertolongan.

Valentjin menerka-nerka siapa mereka sebenarnya? Untuk apa menginginkannya mati?

Dan, setelah kejadian itu kebakaran demi kebakaran  begitu sering terdengar di Batavia. Rumah, pertokoan hingga Pelabuhan. Benar-benar membebani pikiran seorang walikota seperti Valentjin. Apalagi, fisiknya saat ini sedang tidak benar-benar baik.

***

Tidak terasa, Valentjin sudah berada di serambi Balai Kota. Lamunan membawa kakinya ke depan taman.

Hari mulai gelap, terlihat dari kejauhan petugas menyalakan lampu jalanan. Dan, dari arah jalan raya pula dia melihat seseorang berkuda dengan kencangnya.

Penunggang kuda itu berpakaian jas biru tua, seorang Polisi.

"Selamat sore, Tuan," pria penunggang kuda itu menyapa sambil turun dari kudanya.

"Selamat sore, Tuan Kepala Polisi."

"Tuan Walikota, ada berita untuk Anda."

"Berita apa? Sampai harus Anda sendiri yang menyampaikannya."

"Pembunuh Syahbandar ... para pembunuh Syahbandar yang sedang diarak tempo hari ...."

"Mereka siapa? Anda sudah tahu?"

"Ternyata ... mereka bukan orang Batavia."

"Bagaimana Anda tahu?"

"Seharian kami menyelidiki. Dan, menanyai saksi dan tidak ada yang mengenali mereka."

"Kesimpulanmu?"

"Mereka musuh dari negeri lain yang ingin menyerang Batavia."

"Dari Banten? Demak? Atau, Makasar?"

"Itulah ... karena mereka sudah mati ... kita tidak tahu dialek dan gaya bahasa mereka."

"Kalau begitu, itu bisa berarti ajakan perang."

"Ya ... kita diserang secara diam-diam."

Valentjin menganggukan kepala sebagai tanda telah memahami keadaan. Dalam hati dia bergumam, benar juga omongan anak itu.

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang