57

89 25 0
                                    

Valentjin melihat kembali kobaran api di kota itu. Batavia kembali menjadi tempat kebakaran. Matanya menatap dari jauh betapa kebakaran itu semakin membesar.

Pria itu bisa melihat dengan jelas kebakaran yang tengah terjadi. Kakinya sedang berdiri di tempat yang tinggi diantara bangunan-bangunan sekitarnya. Sebuah menara yang diperuntukan bagi lonceng ukuran besar.

Jika siang, siapa pun akan terpana melihat kemegahan menara itu. Dari sana, siapa pun bisa melihat pemandangan Batavia berupa bangunan dengan berbagai bentuk. Malam itu, Valentjin pun bisa melihat dengan jelas di bagian Batavia sebelah mana titik api itu berkobar.

Sebagai pemimpin, dia tidak mau terlalu menampakan diri ketika terjadi kekisruhan di kotanya. Biarlah anak buahnya menyelesaikan ini semua. Tubuhnya terlalu lelah jika harus selalu tampil di depan umum. Dia menyadari kelemahannya itu.

Kali ini, pandangan Valentjin tertuju pada jalan raya tepat di bawah menara itu. Diterangi lampu-lampu nan indah bergaya Eropa, Valentjin bisa tahu siapa yang berjalan di sana.

Seekor kuda kemudian beberapa ekor kuda berlarian ke arahnya. Mereka berhenti. Kemudian terdengar jelas percakapan mereka, suhu malam membuat suara-suara lebih jelas terdengar.

"Tadi aku melihat dia lewat sini!" seseorang diantara mereka berteriak.

Polisi, terlihat jelas dari pakaian mereka. Wajah mereka nampak tegang.

"Mungkin dia bersembunyi di sekitar sini?" yang lainnya menerka.

"Ahh ... kita kehilangan jejak!"

"Kita turun dari kuda ... dan cari dengan berjalan kaki!" seorang diantara mereka memberi perintah.

Mereka semua turun dari kudanya masing-masing. Diantara mereka ada yang memegang lentera untuk penerangan. Malam begitu gelap, apalagi ketika masuk ke wilayah perumahan orang-orang Eropa. Memang tempat yang "baik" untuk bersembunyi.

Polisi-polisi itu mulai berjalan ke arah gereja. Kedatangan mereka mengagetkan seorang penjaga yang sedang memeriksa lampu tempel yang tiba-tiba mati.

"Apakah kau melihat orang datang ke sini?"

"Banyak, Tuan. Ini Rumah Tuhan. Siapa pun bisa datang ke sini."

"Maksudku baru saja."

"Eee ...."

"Jawab saja!"

Petugas itu kaget dengan bentakan seorang Polisi.

"Hei! Jaga nada bicaramu!", seseorang menimpali percakapan Polisi dengan petugas Gereja.

"Oh ... Tuan Walikota."

"Ini Rumah Tuhan. Jaga nada bicara kalian."

"Maaf, Tuan ... kami sedang ...."

"Mencari seseorang. Aku mendengar percakapan kalian. Makanya aku datang menghampiri."

"Maaf, Tuan. Sekali lagi kami minta maaf. Ini penting. Kami harus memeriksa tempat ini."

"Ya aku tahu. Silakan saja. Tapi jaga etika kalian. Dan, jangan buat kegaduhan. Di sebelah sana Panti Asuhan, banyak anak-anak. Mereka bisa ketakutan karena ulah kalian."

"Ya, kami mengerti. ... Kalau boleh tahu ... putri Tuan masih di Panti Asuhan?"

"Ya, dan setiap malam aku mengunjunginya."

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang