29

89 28 0
                                    

A Ling, gadis remaja yang kuat. Sejak lahir dia sudah mengalami kehidupan yang getir. Terlahir tanpa pernah tahu siapa orang tua kandungnya. Bahkan, dia pun tidak tahu terlahir di mana dan di tempat seperti apa.

Kegetiran itu kembali dialaminya. Sepasang suami-istri yang menjadi orang tua angkatnya kini meninggalkan dia untuk selamanya. Dia sendiri lagi.

"Jadi, dia orang tua angkatmu?" Panca mengulik latar belakang orang di sisinya.

"Ya, merekalah yang mengurusku sejak kecil." Mata A Ling masih tertuju pada reruntuhan bangunan di hadapannya.

"Dan ... sekarang ...."

"Aku tidak tahu harus bagaimana."

"Maaf. Aku terlalu mengurusi urusanmu. Tapi, apakah sebaiknya kau buka dulu surat yang kau pegang."

"Untuk apa?"

"Eee ... agar kau tahu apa yang akan kau lakukan setelah ini."

"Ya, kukira begitu."

A Ling menuruti saran Raden Panca. Amplop berwarna cokelat itu dibuka, dengan perasaan tidak menentu. Apakah isinya berita baik atau malah sebaliknya.

"Ternyata, pihak Bank hanya memintaku untuk datang ke kantornya."

"Oh ... aku pikir ...."

"Kau berpikir apa?"

"Tidak. Tidak apa-apa."

Untuk sementara, Raden Panca tidak mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Dia berusaha menjaga perasaan gadis itu. Walaupun, A Ling bisa menebak isi hati lawan bicaranya.

"Utang? Kau berpikir ini tagihan utang?"

"Eeee ...."

"Ayahku punya utang untuk modal usaha penginapan kami. Dan, orang dari Bank sudah sering datang mendatangi Ayah."

"Untuk menagih?"

"Ya."

"Jangan-jangan ...."

"Aku juga berpikir begitu. Sepertinya Bank akan membicarakan perihal utang orang tuaku."

"Aneh ... kenapa begitu kebetulan."

"Maksudmu?"

"Maksudku ... aneh saja, mereka mengajak membicarakan masalah utang-piutang bersamaan dengan kebakaran penginapan ini. Padahal, api yang membakarnya pun belum padam."

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang