23

101 31 0
                                    

Pranata begitu menikmati perjalanannya. Kereta kuda yang bergoyang-goyang membuatnya terlena dan asyik dengan dunianya sendiri. Sejenak, dia lupa jika di depannya ada seorang pria yang sedari tadi memperhatikannya.

Pria itulah yang bersedia mengantarkan Pranata untuk pulang ke Desa Pujasari. Setelah makan enak dan tidur siang yang nyenyak, pria yang dipanggilnya "Tuan" itu memberi Pranata pakaian baru. Wajah anak itu nampak lebih segar dibandingkan pertama kali dia mendatangi Gereja di Batavia.

"Pranata, boleh saya tahu ... orang tuamu sehari-harinya bekerja apa?" pria itu mencoba menyelidiki latar belakang anak itu.

"Ayah saya terkadang bertani ... menggarap tanah Raden Bakti."

"Siapa Raden Bakti?"

"Kepala Desa kami. Beliau punya tanah yang luas sekali."

Pria itu mengangguk-anggukan kepala. Dia bisa mengerti apa yang dirasakan orang tua anak itu.

"Tuan sendiri, apa yang dikerjakan di ...?"

"Gereja. Nama bangunan itu gereja ... dan saya adalah Pendeta."

"Pendeta ...?"

"Saya memimpin ummat Kristiani melakukan ibadah."

"Oh ... kalau di desa saya ada Raden Bakti yang menjadi imam di masjid."

Pranata kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela kereta. Mulai tampak perkebunan warga dengan gubuk-gubuk kecil di sekitarnya. Anak itu menumpahkan kerinduan pada suasana seperti itu setelah berhari-hari disekap di tempat yang sumpek tanpa udara segar.

BRUKK ...

Pranata dan Pendeta terkaget dengan suara kereta yang berhenti mendadak. Mereka bertanya-tanya kenapa harus berhenti tiba-tiba.

"Kusir, ada apa?", pria itu berteriak pada kusir yang duduk di luar.

"Ada pedati, Tuan."

"Tidak bisakah kita menyalip?"

"Bisa saja, jika pedati menepi."

Kusir itu pun turun untuk menemui pemilik pedati. Dia mencoba bicara agar bersedia menepi.

Dari dalam kereta, Pranata penasaran dengan kejadian di luar. Dia mendongak keluar jendela. Dan, wajahnya semakin sumringah sehingga tidak sadar dia berteriak.

"Nyimas Pratiwi!"

"Siapa Pratiwi?"

"Dia tetangga saya, Tuan. Dia juga yang sama-sama disekap di Pelabuhan."

Karena penasaran pria itu keluar dan mengajak Pranata menghampiri pemilik pedati. Pranata berlari ke arah seseorang yang dipanggilnya "Nyimas".

"Pranata! Kau selamat!", Pratiwi bermaksud memeluk anak itu tapi tangannya kesakitan.

"Kau kenapa, Nyimas?"

"Mereka menembakku."

Pratiwi mengarahkan pandangan pada Tuan Pendeta. Dia tersenyum.

"Tuan, terima kasih sudah mengantarkan Pranata.", seseorang mendekati Pendeta dan membungkukkan kepala.

"Ini Paman saya, Paman Bakti.", Pratiwi menjelaskan.

"Raden Bakti inikah yang kau ceritakan, Pranata?", Pendeta memastikan.

"Ya, Tuan. Ini Kepala Desa kami."

"Eee ... bagaimana bisa Tuan bersama Pranata?"

"Biar Pranata saja yang menceritakan. Tugas saya hanya mengantarnya."

"Jika begitu, bagaimana kalau Pranata bersama kami saja. Merepotkan jika harus sampai ke rumah."

"Baiklah jika begitu. Kalau begitu saya permisi untuk kembali ke Batavia.", Pendeta mengangkat topinya tanda perpisahan.

"Sekali lagi kami ucapkan terima kasih."

...

Di tengah perjalanan, mereka berpisah. Pranata menaiki pedati bersama Pratiwi dan Raden Bakti. Diikuti Nakula_si kuda yang dituntun mengikuti jalannya pedati yang pelan.

"O ya, Paman. Apakah Paman Lurah melihat orang berkuda lewat jalan ini?"

"Tidak. Tidak ada orang yang berkuda."

"O ... saya pikir Paman melihatnya. Aku hanya merasa aneh pada dia karena berpakaian serba hitam dan bertopeng kain hitam."

Panca dan Manusia ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang