64. Masih mencari

972 67 5
                                    

Keysa menyendokkan sesuap besar nasi ke mulutnya, pipinya langsung menggembung. Ia berusaha mengunyah walau bibirnya tak bisa tertutup sempurna.

Bu Dina dan Pak Herman yang duduk di depan Keysa hanya bisa menggeleng sambil berdecak heran. Tidak biasanya Keysa duduk di meja makan sambil mengangkat satu kakinya. Ada yang tidak beres. Bu Dina menumpukkan dagunya di punggung tangan sembari memperhatikan putrinya yang makan dengan lahapnya.

"Kamu kesini cuman karena lapar?" tanya Bu Dina memulai inspeksi.

Keysa mengangguk singkat sebelum menyuapkan nasi lagi ke mulutnya yang masih setengah penuh. Sudut bibir Bu Dina terangkat.

"Ada masalah apa sih, Key? Cerita ke Ayah sama Bunda kek. Kami bingung ini." pinta Pak Herman yang siap mendengarkan.

Namun Keysa sama sekali tidak berniat menceritakan masalahnya pada sang Ayah maupun sang Bunda. Ia tahu hal itu hanya akan mengecewakan beliau, lantaran beliau sangat sangat menyukai dan mempercayai Nelsen.

"Nggak ada, Yah." jawab Keysa malas.

"Jadi kenapa kesini?!" suara Bu Dina meninggi akibat geram.

Pak Herman menepuk pelan lengan istrinya, memberitahukan agar tidak tersulut amarah. Bu Dina terpaksa menurut walau ia sudah sangat geram.

"Iya karena aku laper. Emangnya aku nggak boleh datang kesini? Nggak boleh makan disini." Keysa mulai tak enak hati.

"Ya boleh dong, Nak. Siapa yang larang kamu datang kesini." dukung Pak Herman.

"Iya maksud Bunda bukan gitu, Key. Tapi kan aneh kalau kamu tiba-tiba pulang tanpa disuruh. Biasa nya disuruh pulang aja susahnya minta ampun." sindir Bu Dina.

"Iya bener apa yang Bunda bilang, Nak." sahut Pak Herman.

"Karena hari ini aku lagi nggak sibuk, Bun. Bunda kebanyakan nanya deh. Nggak ada apa-apa kok." Keysa memajukan bibirnya.

"Beneran? Tapi kok Bunda ada nyium-nyium sesuatu ya." tatapan Bu Dina berubah menyelidik.

"Perasaan Bunda aja itu yang liar." sinis Keysa.

"Enggak. Perasaan Bunda nggak pernah salah tuh. Perasaan Bunda bakalan punya anak yang keras kepala aja benar-benar terjadi." sanggah Bu Dina enteng dan langsung mendapat tatapan sinis suaminya.

"Perasaan Ayah juga jadi nggak enak." jawab Pak Herman menyelidik istrinya.

Keysa menyipitkan matanya menatap sang Bunda dan Ayah yang memainkan alisnya, meledek Keysa yang pastinya sudah naik darah. Keysa tidak percaya orang tuanya bicara sedemikian sadis nya.

"Makanya Bunda jangan kebanyakan nonton sinetron. Gini kan jadinya." sahut Keysa.

"Kamu tau banget Bunda kamu itu hobi nonton sinetron." sahut Pak Herman seraya terkekeh geli.

"Siapa yang nonton sinetron? Siapa yang marah kalau siaran nya diganti? Ayah kan?" sindir Bu Dina kesal.

"Nggak ah." Pak Herman pura-pura tidak mengaku.

Bu Dina menghela nafas panjang. Enggan menanggapi ocehan aneh suaminya.

"Kamu tuh kalau mau bohong jangan sama Bunda, Key."

Keysa menelan ludah dalam, gelagapan dan buru-buru menggeleng.

"Aku mau makan dulu, Bunda." jawab Keysa.

"Yaudah, Ayah mau ke warung lagi ya. Kamu lanjut lagi makan, Key. Kalau masih lapar bilang ya biar Ayah bawakan ayam kesini."

"Iya, Yah."

Keysen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang