16. Rasa ini

2.3K 153 6
                                    

Keysa menjauhkan dirinya dari Nelsen seraya berusaha tetap tenang. Ia menyelipkan beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatannya ke belakang daun telinga.

"Oh maaf." kata Nelsen sembari melepaskan tangannya.

"Nggak kok. Kaki bapak nggak kena air panasnya kan?" tanya Keysa membungkuk.

"Saya nggak kena kok." Nelsen pun ikut membungkuk.

Keysa menghela nafas ternyata Nelsen juga tidak terkena tumpahan air panas itu. Yang tidak Keysa ketahui, padahal di telapak sandal itu sudah basah hingga kaki Nelsen merasakan hangat air itu yang semakin naik.

"Wah~ pagi-pagi bapak kok sudah ada di dapur?" tanya Tasya terkejut, salah satu dari empat karyawan wanita Nelsen yang ikut.

Kecanggungan mulai merajai kedua insan yang mulai saling menjaga sikap itu. Nelsen mendadak jaim seolah tadi tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Keysa.

Sedangkan Keysa hanya memberikan senyum simpul pada Tasya lalu segera berpindah tempat mengambil ketel yang masih tergeletak di lantai. Di depan orang lain Nelsen bukanlah sembarang orang yang bisa Keysa dekati seenaknya. Derajatnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan tempat Keysa berada.

"Saya minta dibuatkan kopi." jawab Nelsen santai. "Nanti antarkan kopinya ke ruangan saya ya. Tidak usah pake kudapan."

Keysa mengangguk paham. "Baik, pak."

"Oh iya, Tasya." ucap Nelsen sebelum ia kembali naik ke lantai atas.

"Iya pak?"

"Meeting-nya nanti di tempat biasa ya. Jangan lupa disiapkan semua bahan-bahannya. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Pokoknya saya mau opini kalian hari ini. Oke itu saja."

"Iya baik pak. Setelah ini akan saya siapkan semuanya."

Keysa menoleh menatap punggung Nelsen yang semakin menjauh. Dilihatnya gelas kosong ditangannya itu seraya menggigit bibir dalamnya. Ia bahkan belum sempat membuatkan kopi untuk Nelsen.

"Masih pagi lagi udah kasih titah." ujar Tasya kesal.

"Emangnya dia selalu bersikap kejam gitu ya ke kalian?" tanya Keysa.

Tasya mendecak kasar seraya menarik tisu di depannya.

"Bukan lagi. Dia itu ya ibarat kan dewa. Apapun yang dia bilang harus di segera di laksanakan. Kalo nggak, ya angkat kaki deh."

Keysa membulatkan mulutnya. Baru sadar ternyata begitu tanggapan mereka terhadap sosok Nelsen. Jauh dari yang Keysa kenal Nelsen tidak sekejam itu. Dia orang yang baik dan hangat. Apalagi saat pria itu dibalut rasa khawatir. Aura yang terpancar darinya semakin terlihat bak malaikat pelindung.

"Tapi dia baik kok." Keysa memelankan suaranya.

"Kenapa, kak Keysa?"

"Oh nggak. Kamu mau juga kopinya kan? Aku buatkan untuk yang lain juga ya." ujar Keysa mengalihkan pembicaraan.

Syukurlah, Tasya tidak mendengar ucapan Keysa barusan.

"Boleh deh, kak Keysa." ujar Tasya lagi.

"Iya bentar ya." jawab Keysa melanjutkan kerjaannya.

*****

Villa megah nan mewah berlapis cat putih itu menyediakan berbagai fasilitas lengkap layaknya hotel bintang 5. Lebih mirip istana raja juga kalau diperhatikan lagi.

Tak jauh dari villa ada sebuah taman bunga dan lapangan golf yang terbentang luas disana. Ditengah taman bunga itu ada sebuah gazebo yang biasanya di singgahi orang-orang yang mendatangi taman bunga sekedar duduk ataupun berfoto ria.

Keysen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang