19. Rutinitas

1.9K 136 6
                                    

Sepulang menyelesaikan misi rahasia menjadi relawan perusahaan Won And Food. Kini Keysa bersiap menjalankan rutinitasnya seperti biasa, mengajar murid-murid tercintanya di TK Happy Kid.

Ia memasang earphone ke telinganya mendengarkan alunan musik yang mengalir indah du indra pendengaran nya. Pagi ini sangat cerah sesuai suasana hati Keysa yang ceria ingin bertemu anak-anak tercintanya.

Bahkan pagi ini Keysa meninggalkan rumahnya lebih pagi dari biasanya. Dibawanya roti isi yang sudah ia siapkan selesai shubuh tadi untuk dimakan di perjalanan. Sekilas ia melirik jam tangannya seraya tersenyum puas.

*****

Nasya terlonjak kaget melihat Nelsen pagi-pagi begini sudah sibuk bertempur di dapur mengenakan celemek warna pink milik mendiang istrinya, Adel.

"Papa?" panggil Nasya berdiri tak jauh dari Nelsen.

"Nasya? Udah siap-siap, sayang. Sarapan dulu ya. Itu serealnya udah Papa siapkan di meja. Makannya jangan sampe belepotan kena baju ya." peringat Nelsen yang masih sibuk menggoyang-goyangkan teflon di tangannya.

"Iya, Pa. Nasya makan nya tunggu Papa aja."

Nasya segera menarik salah satu kursi makan mendudukan dirinya di sana. Gadis kecil itu tak berkedip memandangi Nelsen yang terlihat sangat sibuk. Ia tak pernah melihat Papanya menyentuh alat-alat dapur apalagi pagi-pagi begini.

"Papa kenapa repot-repot bikin sarapan sih? Kita kan bisa beli di luar." ujar Nasya.

"Sarapan dirumah itu lebih sehat, Nasya."

"Tapi Pa..." Nasya mendecak melihat Papanya kalang kabut.

"Oma dua minggu lagi baru pulang, sayang. Kalo nanti Papa lembur Nasya dijagain sama mbak Wati ya."

"Eyang Erna sakitnya parah ya? Nasya kepengen ketemu Eyang Erna juga."

"Eyang Erna kan adik Oma satu-satunya yang masih hidup jadi Oma pasti jagain Eyang Erna disana sampai sembuh."

"Ah kok tampilannya beda sama di gambar ya." Nelsen mengangkat sebelah alisnya menatap buku resep di depannya.

Sungguh itu bukan lah sesuatu yang Wonelsen bisa handle. Memasak. Pria itu mulai mencicipi rasa hasil masakanannya sendiri. Ia mencolek saus pasta itu lalu merasakannya. Satu. Dua. Tiga. Nelsen mengangguk mantap. Mungkin rasanya enak.

"Oke! Tambah lada sedikit." katanya semangat.

Sepiring spagetti saus carbonarra menjadi santapan pagi untuk Nelsen. Itu lebih tepat di santap pas makan siang.

"Nasya mau coba spaggeti nya ya, Pa."

"Jangan!" Nelsen menahan garpu Nasya.

"Kenapa, Pa?"

"Nasya makan sereal Nasya aja ya. Ini biar buat Papa aja."

Nasya menurunkan alis matanya kecewa dirinya dilarang mencicipi makanan yang terlihat enak itu.

"Sedikit aja ya, Pa."

"Nasya. Ini pertama kalinya Papa masak setelah sekian lama. Papa sendiri aja nggak yakin sama rasanya. Jadi, Nasya jangan coba ya." jelas Nelsen malu.

Nasya tertawa kecil menutup mulutnya. Lama-lama tawanya pecah tak sanggup lagi ia tahan melihat kelucuan Papanya.

"Iya deh, Pa."

"Nasya tahu nomor telfon dokter Vian, kan?"

"Tahu, Pa. Kan Papa tulis di gantungan tas Nasya. Untuk jaga-jaga kalo Nasya kenapa-kenapa di sekolah."

Keysen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang