23. Menjaga Nasya

1.9K 138 2
                                    

Nelsen mengencangkan dasi nya lalu merapikan kembali kerah kemejanya. Ia menengok ke jam di dinding kamarnya, waktunya membangunkan Nasya.

"Sayang, udah pagi. Bangun yuk." Nelsen bersuara seraya menarik gagang pintu kamar Nasya.

Saat pintu terbuka, dilihatnya gadis kecil itu masih tertidur pulas di bawah selimutnya. Buru-buru Nelsen menghampiri Nasya. Nelsen heran karena Nasya tak pernah suka memakai selimut waktu tidur.

"Nasya?" Nelsen menarik selimutnya, menyentuh tangan Nasya yang hangat.

"Pa?" panggilnya parau.

"Iya sayang. Ini Papa. Ini Papa. Badan kamu panas banget, Sayang." ia meraba kening Nasya. Benar saja itu terasa sangat panas.

Kepanikan seketika menjerat Nelsen. Diangkat nya tubuh Nasya ke pangkuannya, ia pun memeluk erat tubuh putri kesayangannya. Perlahan rasa panas mulai terasa tembus dari balik piama Nasya. Gadis itu di basahi keringat dingin.

"Kita kerumah sakit ya." pinta Nelsen sambil terus memeluk Nasya.

"Kalo dirumah sakit nanti yang jagain Nasya siapa, Pa?" tanya Nasya.

Nelsen berpikir sebentar. Bagaimana ia bisa menjawab itu sesegera mungkin mengingat tak ada orang yang bisa ia andalkan saat ini. Pekerjaan juga sedang tidak bisa ia tinggalkan.

"Papa yang jagain Nasya."

"Papa kan kerja."

"Untuk Nasya Papa pasti libur, Sayang. Nasya tenang aja. Sekarang kita kerumah sakit dulu ya." ajak Nelsen.

Nasya menahan lengan Nelsen dengan sisa tenaga yang ia miliki. Lagi-lagi Nelsen menunda pergerakannya. Kedua matanya menatap Nasya lekat.

"Nasya mau dirumah aja, Pa. Minum obat sama istirahat dirumah aja. Nggak mau dirumah sakit. Nasya takut di suntik, Pa."

Pria itu tertegun sesaat. Bahkan ia lupa kalau putrinya itu sangat phobia jarum suntik. Apalagi kalau sampai nanti Nasya di infus, membenamkan jarum di tangan kecilnya justru akan sangat menyiksa nya.

Nelsen menidurkan Nasya kembali di kasur, menaikkan selimutnya sampai batas bawah leher. Sebentar ia memandangi wajah pucat Nasya yang sesekali meringis menahan nyeri di sekujur tubuhnya.

"Tapi Nasya harus makan ya? Abis itu minum obat."

"Iya, Pa." jawab Nasya menurut.

Sebuah plaster penurun panas ia tempelkan di dahi Nasya. Pelan-pelan Nelsen membantu mendudukan Nasya. Nelsen menyuapi bubur sedikit demi sedikit ke mulutnya. Setelah itu Nasya pun meminum obatnya.

"Udah minumnya?"

"Udah, Pa."

Baru saja menemani Nasya sebentar. Ponsel Nelsen berdering menandakan ada panggilan masuk. Tertera nama Airin disana. Nelsen melihat Nasya sekilas lalu beralih mengangkat telfon nya.

"Iya halo?"

[Pak, meeting pagi ini sudah saya siapkan semua. Tuan Johan juga sudah di konfirmasi akan tiba pada waktu yang di tentukan, Pak.]

"Meeting?"

Pandangan Nasya terus menyorot lemah ke arah Papanya. Nasya tahu betul pasti sehabis menerima telfon itu Nelsen akan langsung pamit pergi bekerja karena ada meeting pagi yang sangat penting. Nasya memejamkan matanya kembali berpura-pura tidak mendengar pembicaraan Nelsen barusan.

Ia menoleh ke arah Nasya. Gadis itu sudah terlelap dalam tidurnya. Nelsen mendadak bimbang. Meeting pagi ini tidak bisa ia elakkan. Bagaimana ia bisa mengatasi ini. Anaknya memang jauh lebih penting dari apapun. Tapi perusahaan bagaimana?

Keysen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang