35. Sebuah kabar

1.2K 81 1
                                    

Keysa sekali lagi menatap layar ponselnya. Tidak ada satu notifikasi pesan dari siapapun. Termasuk dari Nelsen. Lebih tepatnya Keysa masih menunggu pesan masuk dari Nelsen.

Keysa menghela nafas sembari menyelipkan ponselnya ke dalam saku celana. Sekarang dirinya sedang menunggu bis yang akan mengantarnya pulang di halte.

*****

Elena sedari tadi asik sekali mengutak atik tombol pengatur saluran radio di mobil Nelsen. Sudah pulahan kali lagi terputar dari sana tapi baginya tidak ada yang cocok dengan mood-nya.

"Bisa kan kita perginya diam-diam." sindir Nelsen yang mulai geram.

Elena menoleh cepat dan mendesis. Ia menjauhkan tangannya dari tombol itu lalu membiarkan radionya mati perlahan.

"Nelsen. Lo nggak bisa dong terus-terusan bersikap dingin kayak gini. Ayolah. Masa lo nggak mau cari pengganti Adel?"

Nelsen tak menjawab dan hanya fokus menatap jalanan di depan sana. Meladeni ocehan Elena hanya akan membuyarkan konsentrasinya menyetir. Lebih baik abaikan saja.

"Heh?" Elena mencolek lengan Nelsen.

"Gue nyetir." peringat Nelsen.

"Yang nyetir tangan bukan mulut." timpal Elena cetus.

"Mau dengar jawaban apa dari gue? Gue nggak tertarik menikah lagi." kata Nelsen bohong.

"Sungguh?" Elena memajukan duduknya.

"Hmm."

"Padahal gue baru aja mau ngajarin lo caranya move on." Elena mendesis pelan.

"Nggak perlu. Itu cukup untuk lo aja. Buat apa lama-lama seorang Elena melajang." balas Nelsen lagi.

"Gue udah melepas masa melajang gue tahun lalu ya. Sayang sekali. Padahal gue mau kenalin lo ke teman gue di Paris. Tapi lo nggak mau yasudah." Elena kembali bersandar.

"Thank's. Tapi gue nggak butuh."

"Keysa siapa?" akhirnya Elena berhasil membuat perhatian Nelsen teralih padanya.

"Tau darimana?" tanya Nelsen mendadak gusar.

"Anak lo. Di setiap cerita dia pasti ada nama Keysa, Keysa dan Keysa. Siapa sih?"

"Bukan siapa-siapa."

"Pacar kah?"

"Bukan."

"Calon?"

"Bukan."

"Jadi?"

"Gue peringatkan baik-baik sama lo, Elena. Sekalipun jangan pernah lagi datang ke perusahaan. Apapun alasannya." Nelsen menegaskan suaranya.

"Kenapa? Emangnya ada larangan ya orang luar nggak boleh masuk?"

"Disana bukan tempat rekreasi."

"Ya ampun. Itu juga gue tau, Nelsen. Tapi gimana kalo semakin lo larang gue akan semakin sering main ke perusahan."

"Silahkan aja. Tunggu akibatnya."

Elena tertawa geli merasa Nelsen sudah diujung batas melawan emosinya. Melihat wajah pria itu menegang membuatnya seakan ada yang menggelitik perutnya dan ingin terus tertawa puas.

Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan karena macet dimana-mana. Akhirnya mereka sampai di depan rumah besar Nelsen. Elena melepaskan sabuknya dan bersiap turun.

"Bilang ke Mami gue pulang agak malam." pesan Nelsen.

Elena mengangkat ibu jarinya dan segera keluar dari mobil Nelsen.

Keysen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang