Chapter 22: Trauma

2.7K 175 5
                                    

*****

tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya dari seorang manusia, bahkan orang terdekat sekalipun.

*****

Disaat Lizora keluar dari ruangan dance setelah menghabiskan seluruh jam istirahat untuk berlatih, Maxime tiba-tiba datang entah darimana dan menariknya untuk ikut. Sepanjang koridor yang mereka lalui, Lizora hanya bisa meronta meminta dilepaskan dan sesekali bertanya kemana Maxime akan membawanya pergi. Namun, Lizora lupa, yang bersamanya kini bukan Elfino yang akan meladeni semua kata yang keluar dari bibirnya, melainkan Maxime yang dikenal dingin dan tidak peduli sekitarnya.

Daripada lelah berdebat dengan orang yang tidak akan mempedulikannya, Lizora memilih terus melangkah mengikuti kemanapun Maxime pergi meski sedikit terpaksa.

Gudang. Maxime membawa Lizora masuk ke dalam gudang dan langsung menutup pintunya rapat-rapat. Lizora tidak bisa menebak, apa yang ada dipikiran Maxime sekarang? Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh isi gudang. Ada banyak bangku yang sudah tidak terpakai tertumpuk acak. Terdapat sarang laba-laba yang menempel di dinding-dinding yang rusak dan kasar. Kondisi gudang cukup menyeramkan, membuat bulu kuduk Lizora berdiri.

"Lo ... ngapain bawa gue kesini?"

"Gue mau bicara empat mata sama lo, Zor," jawab Maxime dengan raut terlampau serius.

"Kalau emang mau ngomong sama gue, jangan disini juga," balas Lizora seraya melihat setiap penjuru gudang dengan perasaan was-was. "gue gak suka tempatnya."

Lizora masih terus mengedarkan pandangan ke seluruh gudang yang gelap dan sepi. Dia membelalakkan mata begitu melihat bekas darah yang mengering di lantai gudang yang berdebu. Lizora refleks memegang dadanya seraya menatap Maxime.

"Darah?" tunjuk Lizora dengan jari telunjuknya. "itu, darah siapa, Max?"

Maxime melihat arah telunjuk Lizora. Dia bisa melihat bekas darah Elfino yang sudah mengering.

"Lo ... bukan tipe cowok psikopat yang kayak di novel-novel kan, Max?" Lizora menelan saliva, menatap Maxime takut-takut seolah laki-laki itu makhluk yang menyeramkan.

Maxime mengernyit. "Jadi, lo nuduh gue psikopat?" Dia menghela nafas berat, begitu Lizora mengangguk.

"Ya, mungkin aja," balas Lizora dengan suara yang agak gemetar. "terus, itu darah siapa?" tanyanya, kini lebih ke penasaran.

"Elfino."

Lizora melotot, cukup terkejut. "Jadi, Elfino berniat bunuh diri, ya? Kenapa? Apa alasannya?"

"Lo alasannya, Zor," jawab Maxime.

Lizora mengernyit seraya menunjuk dirinya sendiri. "Gue?" ulangnya. "emangnya, apa yang udah gue lakuin ke dia?"

"Lo udah nolak Elfino, lupa?" balas Maxime mengingatkan.

"Cuma gara-gara itu doang, terus dia mau bunuh diri?" Lizora merasa heran. "ketua geng apa kayak gitu? Lemah banget jadi cowok," sindirnya dengan suara se-pelan mungkin.

Namun, Maxime masih bisa mendengarnya.

"Ketua geng juga manusia," balas Maxime sarkas. "Elfino juga punya perasaan, Zor."

Kalimat Maxime barusan, sedikit menyentil hati Lizora. Dia menghela nafas dan mengambil duduk di salah satu kursi yang kakinya sudah tidak terlalu kokoh. Lizora menerawang, mengingat-ingat semua sikap dan perilakunya kepada Elfino. Dia merasa, itu semua agak keterlaluan jika digunakan sebagai bentuk penolakan.

Elfino (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang