2

194 23 0
                                    

Haji Masdar duduk bersila di beranda rumah Raden Bakti. Dengan rokok di tangan, dia bicara panjang lebar tentang banyak hal. Mentari pagi menemani perbincangan mereka berdua. Sepiring singkong rebus menjadi hidangan pengganjal perut ketika kegiatan hari itu belum dimulai.

"Begini Raden, kita sebagai pribumi harus punya keinginan hidup dengan tangan dan kaki sendiri."

"Maksud Kang Haji?" Raden Bakti berpura-pura tidak mengerti apa yang dimaksud Haji Masdar.

"Pemerintah Hindia Belanda sudah menjajah kita begitu lama, kita harus merdeka dari cengkeraman mereka."

"Saya pikir Pemerintah Hindia Belanda memberikan banyak kemudahan bagi kita sebagai orang pribumi."

"Kemudahan? Lihatlah sekelilingmu, Raden."

Perbincangan mereka terdengar oleh para pekerja yang sedang menjejerkan gerabah di halaman. Termasuk Panca dan Bajra yang sering tertarik pada "urusan" orang dewasa. Mereka berdua pura-pura membereskan gentong, guci dan kendi yang sebenarnya telah rapi untuk dijemur.

Panca dan Bajra saling lirik. Seperti biasanya, Bajra menatap sahabatnya jika ada anak itu merasakan sesuatu yang tidak beres. Entah apa yang ada dalam pikirannya, jika dia mencium sesuatu yang ganjil maka akan merasakan kegelisahan. Itu selalu tampak dari perilakunya yang tidak tenang ketika bekerja.

"Kang Haji, justru saya melihat ke sekeliling saya. Kehidupan mereka yang berada di bawah tanggung jawab saya."

"Sama Raden, saya juga punya banyak orang-orang yang bekerja pada saya. Hidup mereka sangat bergantung pada saya, makanya Pemerintah tidak perlu ikut merasakan apa yang kami hasilkan."

Bajra merasakan kegelisahan itu ketika Haji Masdar terdengar bertentangan pendapat dengan Raden Bakti. Sebagai anak, Panca tidak mau ikut campur tangan pada apa pun urusan ayahnya. Tetapi, ketika melihat Bajra yang gelisah maka Panca pun harus percaya pada firasat sahabatnya itu.

"Kita, sebagai orang pribumi memang dibawah kendali orang Eropa," Haji Masdar berbicara dengan nada tinggi.

"Kita harus bisa menentukan nasib diri sendiri, Raden."

"Apa daya kita, Kang Haji. Mereka lebih kuat dari kita."

"Ini ... ini yang harus diubah dari orang-orang pribumi."

"Maksudnya?"

"Orang-orang pribumi harus mengubah cara berpikirnya. Kita harus berpikir jika kita mampu mengusir mereka dari tanah leluhur kita."

"Caranya? Dengan berperang? Kita tidak punya kemampuan untuk itu."

"Tidak harus perang, tapi ... kita boikot mereka."

Panca dan Bajra mengarahkan pandangan kepada kedua pria yang sedang berbincang itu. Wajah mereka terlihat sangat serius.

"Kita jangan menjual barang-barang kita pada orang-orang Eropa itu ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang