17

50 23 0
                                    

Panca dan Bajra sedang menggembalakan domba ketika matahari mulai meninggi. Sebuah kegiatan yang dilakukan oleh hampir seluruh anak di Desa Pujasari. Sekumpulan domba dengan bulunya yang mulai kusam karena belum dimandikan begitu asyik makan rumput-rumput segar.

Bukit yang tidak jauh dari kandang-kandang domba itu riuh rendah dengan anak-anak yang saling berkejaran dan bersahutan. Sebuah pemandangan menyejukkan mata bagi siapa pun yang melihatnya.

"Raden, di sebelah sana kan Desa Sugihmakmur?" Bajra menunjuk ke sebuah tempat yang jauh di arah Barat.

"Ya, di desa itu tidak ada bukit seperti di sini. Hampir semuanya sawah yang datar. Ada apa dengan Desa Sugihmakmur?"

"Aku teringat dengan Asih."

"Haha, kau merindukannya. Wajar sih dia memang cantik."

"Bukan itu, Raden. Lihatlah ke sana."

"Ya, mereka sedang panen padi. Sawahnya seperti hamparan karpet warna kuning."

"Ya, tapi aku tidak sedang membicarakan itu."

"Apa?"

"Kau melihat ada burung beterbangan dari sana?"

"Burung?"

"Ya, baru saja aku lihat banyak burung yang terbang dari arah Desa Sugihmakmur."

"Desa itu jauh, bagaimana bisa kau melihat burung ...."

"Sekawanan burung, barusan saja sekawanan burung tiba-tiba beterbangan bersamaan."

Panca menyaksikan sekawanan burung kuntul yang berterbangan menjauhi Desa Sugihmakmur. Kawanan burung itu terlihat semakin jelas karena menuju ke arah Desa Pujasari. Warna bulunya yang putih begitu kontras dengan langit biru sebagai latar di belakangnya.

"Aku tidak mengerti, Bajra."

"Kau pernah mendengar, jika binatang akan berlarian ketika mereka merasakan ada bahaya?"

"Ya, aku mendengar. Maksudmu, di Desa Sugihmakmur ada bahaya ...."

Panca menatap sahabatnya yang menampakan wajah penuh kekhawatiran. Dia melihat ada sesuatu yang dipikirkan orang yang duduk di sebelahnya.

"Entahlah, aku merasa ada sesuatu dengan Asih."

"Setelah kematian kakaknya ...."

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang