68

85 29 0
                                    

Beberapa hari kemudian ...

Matahari pagi muncul bersama dengan riuh rendah ayam betina berebut makanan. Diantara mereka terjadi persaingan lokal demi mendapatkan jatah makanan yang lebih banyak. Ditambah, anak-anak mereka yang sering mendapat perlakuan kasar  dari pesaingnya.

"Ahh, kapan sih kalian bisa akur? Seperti manusia saja, bertengkar demi berebut kekuasaan."

Asih suka berteriak memarahi ayam-ayam yang diberi makan olehnya. Di pekarangan belakang, ayam-ayam itu malah membuat kericuhan bukannya konsentrasi pada  butiran padi yang ditabur oleh gadis itu.

Mata Asih tertuju pada langit di atas kepalanya, pagi begitu cerah, begitu juga dengan wajah Asih. Dia tersenyum sendiri. Terima kasih ya Alloh atas anugerah-Mu. Gadis itu seakan mendapatkan energi berbeda ketika menjalani hari.

"Asih, antarkan air teh ini pada Bapa!" 

"Ya, Bu."

Asih bergegas ke dapur untuk menghampiri ibunya yang sedang memasak. Dengan langkah cepat, gadis itu masuk melalui pintu belakang sambil membawa butiran padi yang tersisa di tangan.

"Ah, cuci dulu tanganmu. Kebiasaan ..."

Asih tersenyum manja pada ibunya.

"Neng, kamu nampak senang sekali? Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa, hanya senang saja. Melihat Ibu dan Bapa sehat kembali" Asih menjawab pertanyaan ibunya sambil mencuci tangan dekat gentong yang selalu tersedia di dapur. "Bapa sudah mau keluar kamar, ibu juga sudah bisa memasak lagi di dapur."

Wanita paruh baya di hadapan Asih hanya tersenyum. Mungkin dia memaklumi keadaan anak gadisnya.

"Saya sempat merasa khawatir ketika Bapa tidak mau keluar kamar beberapa hari ini. Makanya, ketika  tadi subuh melihat Bapa mau duduk di ruang tamu ... sepertinya ... Bapa sudah sehat."

Kemudian, Asih bergegas membawa mug yang berisi air teh panas. Dia berjalan menuju kamar ayahnya.

Bapa, ke mana? Hati Asih bertanya-tanya ketika mendapati ayahnya tidak ada di kamarnya.

Gadis itu kembali berjalan ke arah ruang depan, bahkan hingga sampai beranda. Tidak ada orang yang dimaksud. Hanya kursi dan meja yang kosong tanpa hiasan.

Asih membalikan badan, bermaksud kembali ke dapur. Tapi, terlintas dalam pikirannya untuk mencari ayahnya ke sisi lain rumah dengan tembok putih itu. Dia berjalan menyusuri tepi dinding luar sambil membawa mug di tangannya. Berharap orang yang dicari tidak jauh dari rumahnya. Bapa ke mana, pagi-pagi sudah jalan-jalan ke luar? Memangnya Bapa sudah benar-benar sehat?

Langkah Asih terhenti ketika sampai di sudut bangunan, matanya tertuju pada bangku di bawah pohon rambutan. Bangku yang biasa dijadikan Asih untuk menyendiri atau sekedar menghirup udara segar. Bangku panjang yang dibuat dari dua papan seukuran tubuh. Di setiap sudutnya, ada kaki-kaki yang terbuat dari kayu berukuran sehasta.

Tapi, kaki-kaki bangku itu kini terbalik. Posisinya bukan menyentuh tanah tetapi mendongak ke langit. Bangku itu tidak dalam keadaan biasanya. Seseorang telah membalikkannya.

Orang itu adalah sosok yang dicari Asih. Dan, dia tergantung di pohon rambutan. Seutas tambang melilit lehernya. Dimana,  ujung tambang yang lainnya terikat ke dahan pohon rambutan yang menjulur ke arah atap rumah.

"Bapa!"

Sosok yang dipanggil "bapa" itu menggelepar seperti seekor ayam yang baru disembelih.


- Selesai -

***

Terima kasih sudah membaca karya saya.
Terimakasih juga untuk tanda bintang dan komentarnya.
Terima kasih juga sudah membuka serial Panca berikutnya.

'_'

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang