Jalan yang dilalui Panca dan kawan-kawannya kini berhiaskan hutan gelap. Jalan setapak yang biasa dilalui para pemburu dan pencari kayu bakar, bisa dilalui orang yang berkuda. Meskipun, jalan itu sempit dan sanggup dilalui secara berbanjar.
"Panca, mereka semakin dekat!" Asih berteriak pada Panca yang berfokus melihat ke jalanan.
"Ssst, kau jangan berteriak-teriak. Nanti mereka mendengar kita."
Hueee, Si Sadewa berhenti berlari ketika tali kekang ditarik.
Dari arah belakang Si Nakula spontan berhenti berlari ketika melihat sahabatnya pun menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" Bajra bertanya kepada Panca.
"Kita harus melakukan sesuatu, agar jarak kita dengan mereka tidak terlalu dekat."
"Aku paham, tapi bagaimana caranya?"
"Aku pikirkan dulu."
"Kau belum punya rencana? Lalu, kenapa kau berhenti."
"Sekalian memberi Nakula dan Sadewa istirahat. Perjalanan kita masih panjang. Kuda-kuda ini belum terbiasa berlari sepanjang hari."
"Bagaimana, kau punya gagasan Pratiwi?"
Pratiwi terdiam sejenak, dia menundukkan pandangan. Kemudian mendongak ke atas.
"Sepertinya aku tahu harus melakukan apa."
"Nah, tidak percuma kau ikut dengan kami, Pratiwi." Panca tersenyum.
Wajahnya Asih lebih menampakan ketakutan, "Apa yang akan kita lakukan, Pratiwi?"
"Ikut aku!" Pratiwi turun dari kuda. Dia melangkah ke arah semak-semak dan mencari sesuatu yang dia butuhkan.
Panca dan Bajra pun ikut turun, sedangkan Asih masih nampak kebingungan dengan apa yang dilakukan kawan-kawannya. Dia masih duduk di atas punggung kuda.
"Cepat kawan-kawan, waktu kita tidak banyak." Asih lebih mengkhawatirkan tentang waktu yang terus berlalu.
"Coba kau perhatikan, bila mereka datang beri kami tanda."
"Baiklah." Asih menyetujui usulan Panca.
Nakula dan Sadewa mendengkur, hewan tunggangan itu menikmati waktu istirahatnya. Ekornya dikibas-kibaskan demi meregangkan otot-otot setelah berlari. Sedangkan Asih memicingkan mata berharap bisa melihat jarak yang lebih jauh.
Kala itu, hutan mulai terasa gelap. Matahari sudah menjauh dari atas kepala. Tidak tampak cahaya masuk ke sela-sela pepohonan. Sesekali terdengar suara binatang saling sahut. Burung-burung serta erangan monyet terdengar dari jarak jauh.
"Bajra, menurutmu itu tanda bagi kita?"
"Ya, mereka mulai mendekat."
"Tapi aku belum melihatnya."
"Kalau begitu, marilah kita teruskan perjalanan."
Panca, Bajra dan Pratiwi kembali naik ke atas kuda. Mereka terkesan begitu tenang. Bagi Asih, mereka bertiga terkesan santai padahal bahaya sudah mendekat.
"Hei, ayo cepat. Kenapa kalian terlihat tenang-tenang saja."
"Mereka bukan orang biasa, Asih. Kita pun hadapi mereka jangan dengan cara biasa."
"Ya ya, ayo kita bergerak."
Panca tidak mau dibuat panik oleh Asih. Dengan tenangnya dia naik ke atas pelana. Kemudian menepuk leher Si Sadewa.
"Hei, itu mereka ....!"
Panca melihat ke belakang. Begitu juga Bajra dan Pratiwi, mereka bisa melihat dengan jelas orang-orang yang tadi berkunjung ke Desa Pujasari.
Panca melirik kepada Pratiwi.
"Sekarang!"
Nakula dan Sadewa dipacu untuk berlari kencang, "Hiya!"
Dari kejauhan, komplotan itu pun menambah laju kudanya. Nampaknya mereka bersemangat setelah melihat target buruannya terlihat tidak jauh di depan mata.
Di jalanan yang sempit, kuda-kuda itu saling berkejaran.
Tuk tak tuk tak !
"Hei, berhenti!"
Salah seorang diantara mereka berteriak berharap buruannya menyerah. Laju kuda pun menjadi sangat kencang, lebih kencang dari sebelumnya.
Sayang, perhatian mereka hanya tertuju pada buruannya. Dan, lupa pada apa yang ada di sekitarnya.
Brakkk!
Kuda paling depan terjatuh, tersungkur.
Disusul, oleh kuda-kuda di belakangnya. Bruk bruk prak prak srekkk !
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mister / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...