"Juragan Haji itu memang layak jadi pemimpin kami!" seorang laki-laki bertelanjang dada berteriak sambil menghunus parang.
"Pemimpin?"
"Ya, dia tempat kami berkeluh kesah dan meminta pertolongan. Juragan Haji tidak mungkin memanfaatkan kami."
Burhan malah tertawa terbahak-bahak mendengar alasan kenapa para warga begitu setia pada Haji Masdar. Burhan menggelengkan kepala, kemudian meludahi wajah Haji Masdar. Sebuah bentuk penghinaan tidak terperikan.
"Cuihhh! Dia bukan pemimpin desa ini. Seharusnya kepala desa yang memimpin kalian!"
"Ahhh ... Kepala Desa Sugihmakmur hanya kacung penjajah!"
"Ooo ... Jadi kalian lebih memilih orang ini dibandingkan kepala desa sebagai pejabat resmi pemerintah. Kenapa? Karena dia lebih kaya?"
Warga tidak bisa menjawab pertanyaan Burhan. Mereka seakan ingin menarik kembali pernyataan bahwa Haji Masdar layak dijadikan pemimpin. Bimbang.
Kerumunan laki-laki berkulit kecokelatan itu seakan dibingungkan dengan kalimat-kalimat Burhan. Satu sisi mereka ingin membela Haji Masdar tetapi di sisi lain semangat membela itu mulai meredup ketika melihat orang yang dibela sudah tidak berdaya.
"Ingat! Tanah yang luas ini bukan milik juragan yang kalian hormati ini ... Ini semua tanah milik negara! Tidak ada surat resmi yang menyatakan bahwa tanah ini miliknya!"
Warga mengerutkan dahi, begitu terlihat dari wajah mereka yang polos. Sangat nyata bagaimana orang-orang tidak berpendidikan ini baru menyadari jika tanah luas yang mereka garap selama ini ... tidak memiliki sertifikat apa pun.
Sayangnya, Haji Masdar tidak bisa menjelaskan atau membantah pernyataan-pernyataan dari Burhan. Moncong pistol masih tertanam di dalam mulutnya. Orang tua itu tidak diberi kesempatan bicara.
"Apa yang kalian lakukan di sini adalah ilegal! Tanpa seizin Pemerintah Hindia Belanda." Burhan kembali menjelaskan.
"Kami tidak percaya Pemerintah!"
"Ooo ... Jadi kalian ingin melawan kami?"
Warga yang berkerumun kembali memperlihatkan amarahnya.
"Hei! Jika kalian ingin melawan Pemerintah berarti kalian ingin memberontak ... dan kalian akan mati konyol ... Lihatlah mereka yang sudah jadi mayat ... sedangkan orang tua ini masih bisa hidup dengan hartanya yang berlimpah ... dia bisa mengawini banyak perempuan cantik yang dia inginkan ...."
"Ahh kau banyak bicara!"
"Hei, coba pikirkan ... kalau teman kalian mati demi membela orang ini ... Apakah dia juga rela mati demi membela kalian?"
Tidak ada warga yang menjawab. Semua kembali terdiam.
"Ingat, ketika anaknya _Majid_ dibunuh ... bahkan dia tidak ada di rumah! Bukankah itu artinya dia tidak mau membela keluarganya sendiri?"
Warga malah dibingungkan dengan permainan kata Burhan. Tetapi, tentu saja mereka hanya bisa berdiri sambil memasang kuda-kuda sambil berharap Burhan membebaskan Haji Masdar.
"Baiklah, akan kita buktikan." Burhan melirik ke anak buahnya yang berdiri di pintu, "Bawa perempuan sintal itu!"
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membawa salah seorang tawanan dari ruang tengah ke hadapan warga yang sedang berkerumun. Tawanan itu diikat kaki dan tangannya, dengan mulut ditutup kain. Wajah tawanan terlihat sangat ketakutan. Keringat bercucuran dari pelipisnya serta dahinya yang lebar.
"Bi Irah, tenang Bi, kami akan menolong Bibi," seorang warga mencoba meyakinkan.
"Hei, Juragan ... kau pilih mana ... Dia mati atau kau yang mati?"
Haji Masdar hanya terdiam. Tidak bereaksi.
"Ah, kau sudah memilih ...."
Dor!
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Lumbung Padi
Mystery / ThrillerSebagai binatang yang tidak mau tahu urusan ummat manusia, si tikus hanya mencari apa yang dia inginkan. Butiran padi untuk sarapan pagi. Dia pun melangkah lagi berjalan diantara tumpukan padi sambil memakan apa yang ada di hadapannya. Matanya tertu...