35

47 19 0
                                    

"Raden, mereka datang ke sini," Bajra memberitahu Panca.

"Ya, aku juga melihat mereka."

Dari arah gapura desa berjalanlah lima ekor kuda yang ditunggangi orang-orang yang menenteng senapan. Bagi warga Desa Pujasari, kedatangan mereka sungguh sesuatu yang tidak biasa.

Sebagai anak kepala desa, Panca menyambut kedatangan mereka dengan berdiri di pinggir jalan. Panca memasang wajah penuh keramahan. Dia berusaha tenang, walaupun sebenarnya tahu apa maksud kedatangan mereka.

"Selamat datang di desa kami, Tuan sekalian." Panca memegang tali kekang si kuda agar berhenti tepat di depannya.

"Bisa kami tahu, di mana Kepala Desa ...."

"Desa Pujasari, Tuan. Ini Desa Pujasari."

"Ya, dimanakah rumah Kepala Desa Pujasari?"

"Kebetulan, Tuan berhenti tepat di depannya."

Pria-pria berkuda itu heran dengan jawaban Panca. Mereka saling tatap. Beberapa diantaranya mengarahkan pandangan ke atas atap rumah kemudian ke rumah sekelilingnya.

"Ya, beginilah keadaan rumah kami." Panca seakan paham alasan keheranan para tamunya.

Bagi Panca, ini bukan pertama kalinya tamu yang datang heran dengan kondisi rumah seorang kepala desa yang sederhana. Sama sederhananya dengan rumah para tetangganya. Hanya sedikit lebih luas.

Rumah Panca _lebih tepatnya rumah orang tuanya_ memang sungguh sederhana. Dengan atap ijuk serta berdinding kayu adalah bahan baku yang lumrah bagi rumah rakyat kebanyakan. Padahal, keluarga Panca adalah seorang bangsawan yang memiliki tanah begitu luas hingga ke pinggir hutan.

"Saya putra Kepala Desa Pujasari, silakan duduk di beranda."

"Tidak, saya tidak akan berlama-lama. Saya numpang bertanya, apakah Raden tahu jika tadi pagi atau baru saja ... ada orang asing yang datang ke sini."

"Maaf, saya tidak menerima tamu sejak pagi."

"Eee ... terus terang saja, kami sedang mencari seseorang."

"Kalau boleh tahu, siapa orang yang sedang Paman cari?"

"Eee ... ciri-cirinya ... dia gadis seumuran Raden, pakaiannya kotor ... namanya Asih."

Darah Panca berdesir. Suhu tubuhnya bertambah hangat. Darah mengalir cepat menuju ke jantung. Jantungnya berdebar kencang.

"Kami minta bantuan Raden dan seluruh warga. Jika menemui orang dengan ciri yang saya sebutkan, katakan padanya ... untuk segera pulang karena ayah dan ibunya dalam bahaya ...."

"Bahaya?"

"Eee ... dia akan paham apa yang saya maksud."

Orang-orang itu berpamitan dengan menganggukkan kepala. Mereka tersenyum pada Panca. Sebuah bentuk keramahan yang terkesan berpura-pura. Panca tahu itu karena mereka jelas bukan sedang menyampaikan pesan tetapi sedang mengejar seseorang yang dicarinya.

Gelagat orang-orang itu tidak terlalu mencurigakan. Tetapi, penampilan mereka yang kotor dengan lumpur jelas menyatakan jika orang-orang itu sedang berkejaran dengan waktu.

Kelima penunggang kuda itu berputar arah. Mereka berjalan diantara deretan rumah warga. Tentu saja, anak-anak yang sedari tadi ceria bermain kini berhenti seketika.

Anak-anak kecil yang sedang bermain di halaman, nampak berlarian. Enggan berpapasan dengan para penunggang kuda itu.

Salah satu dari penunggang kuda itu berhenti. Kemudian, dia menengok ke belakang.

"Hei, tunggu."

"Ada apa?" penunggang yang lain menyahut.

"Bukankah anak itu ...."

Para penunggang kuda itu kembali berbalik arah. Mereka mendekati Panca yang masih berdiri di pinggir jalan.

"Raden, katakan pada saya dimana Asih?"

"Maaf, saya tidak tahu ... lagi pula siapa Asih saya tidak mengenalnya?"

"Asih, anaknya Haji Masdar, kau mengenalnya. Kami melihatmu di pemakaman tempo hari."

"O dia. Paman sedang mencari dia."

"Katakan saja."

"Ya, saya mengenalnya ... tapi ...."

Pria itu mengarahkan senapan tepat di kepala Panca.

"Kau memang pintar mengelabui kami ... tapi ... tidak dengan anak-anak kecil itu." Wajah orang itu mengarah pada sekumpulan anak kecil yang berkerumun tidak jauh dari rumah Panca, "Wajah mereka menyiratkan sesuatu ...."

Aduh, kenapa mereka ada di situ ...

Panca dan Tragedi Lumbung PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang